Pemikiran Berger mengenai konstruksi sosial dituangkan dalam Karya
yang terkenal, yaitu Inovation to Sociology (1963) dan The Social
Construction of Reality (1966) yang ditulis bersama temannya, Thomas Luckmann.
Dalam bukunya tersebut, dinyatakan bahwa realitas terbentuk secara sosial, oleh
karenanya sosiologi sebagai ilmu pengetahuan harus menganalisa bagaimana proses
tersebut terjadi.
Menurut Berger, sosiologi merupakan usaha sistematis untuk memahami
dunia sosial tanpa harus terpengaruh oleh berbagai harapan dan kecemasan. Untuk
menjadi seorang sosiolog, orang tidak musti harus menjadi seorang propagandis
atau pengamat yang mati rasa, melainkan ia harus berada dalam ketenggangan
eksistensial dengan nilai-nilai seseorang, khususnya nilai-nilai yang dipegang
teguh. Pemikiran Berger mengenai konstruksi realitas secara sosial dipengaruhi
oleh gurunya, yaitu Alfred Schutz. Kuliah-kuliah yang diberikan Schutz
mendorong Berger untuk mengembangkan
model teoritis sosiologi mengenai bagaimana dunia sosial terbentuk.
Berger berpendapat bahwa realitas sosial secara objektif memang
ada, tetapi maknanya berasal “dari” dan “oleh” hubungan subjektif (individu)
dengan dunia objektif. Senada dengan fenomenologis, Berger menyetujui bahwa
dalam dunia sosial terdapat realitas berganda yaitu realitas sehari-hari dan
realitas ilmiah. Realitas sehari-hari merupakan realitas yang teratur, terpola
dan diterima begitu saja tanpa dipermasalahkan.
Menurut Berger, terdapat tiga elemen dalam masyarakat yang bergerak
secara dialektis, yaitu : internalisasi, eksternalisasi dan objektivasi. Internalisasi
merupakan proses dialektis dari pembentukan relitas dimana sosialisasi terjadi.
Kemudian, eksternalisasi merupakan ‘momen’ dalam proses dialektis dimana
individu secara kolektif dan perlahan-lahan mengubah pola-pola dunia sosial
objektif. Ekternalisasi ini menunjukan proses dimana manusia yang belum
disosialisir sepenuhnya bersama-sama membentuk realitas baru. Sementara itu, objektivasi
merupakan momen dalam proses dialektis dari pembentukan relitas yang membatasi
realitas sosial objektif.
Berger menegaskan bahwa realitas kehidupan sehari-hari memiliki
dimensi subjektif dan objektif. Manusia merupakan instrumen yang menciptakan
realitas sosial yang ‘objektif’ melalui proses eksternalisasi, tetapi disisi
lain ia juga memperngaruhinya melalui proses internalisasi yang mencerminkan
realitas subjektif.
Masyarakat sebagai realitas objektif dapat dilihat melalui hubungannya
dengan lembaga-lembaga sosial sebagai produk dari kegiatan manusia. Hukum dasar
yang mengendalikan dunia sosial yang objektif adalah keteraturan. Sosiologi melihat
keteraturan sebagai prasyarat primer kehidupan sosial, serta memandang
masyarakat dalam esensinya sendiri merupakan tertib yang semestinya ada atas
serangkaian pengalaman manusia yang berubah-ubah. Dengan demikian, Berger
memandang bahwa masyarakat di satu sisi tidak menginginkan adanya kekacauan,
tetapi disisi lain masyarakat juga merasa bosan dengan situasi yang vakum.
Sementara itu, masyarakat sebagai realitas subjektif dapat dilihat
dari dua momen proses dialektis pembentukan realitas sosial, yaitu
internalisasi dan eksternalisasi. Melalui proses internalisasi (sosialisasi)
individu dihadapkan pada agen-agen sosialisasi yang memperkenalkannya pada
dunia sosial objektif. Realitas objektif tersebut kemudian diinternalisasikan
berdasarkan penafsiran dari individu yang bersangkutan. Sehingga setiao
individu memiliki “versi” realitas yang dianggapnya sebagai cermin dari dunia
objektif.
Dalam struktur sosial, terdapat peranan perilaku terpola yang mana
di dalamnya individu menjalankan kegiatan yang sesuai dengan ukuran-ukuran
pelaksanaan peranannya tersebut. Berger memandang peranan sebagai unit dasar
aturan terlembaga yang ojektif. Berger tidak melihat masyarakat sebagai produk
akhir, melainkan sebagai sebuah proses yang sedang terbentuk. Dalam masyarakat
terdapat proses diamana suatu realitas mampu membentuk dan juga menghambat para
pratisipannya. Realitas masyarakat objektif membebaskan aktor untuk memilih sejumlah pilihan, namun
pilihan tersebut bersifat terbatas.
Sama seperti halnya Weberian, Berger dan Luckmann menyetujui bahwa
dunia institusional yang objektif ini membutuhkan legitimasi. Legitimasi
sendiri merupakan “cara penjelasan atau pembenaran” sebagai asal-usul serta
proses pembentukan pranata sosial. Legitimasi berasal dari interaksi antar
individu yang menjadi tanda terima bagi dunia sosial objektif. Dalam padangan Berger,
sekulerisasi merupakan sebuah dilema yang mengancam kepercayaan dan pengalman
keagamaan bagi masyarakat modern. Padahal menurutnya, agama merupakan benteng yang
paling tangguh untuk melawan eksistensi tanpa-atri (meaninglessness). Agama
merupakan sumber legitimasi yang paling efektif dalam dunia sosial. Namun dengan
adanya sekulerisasi, maka terjadilah penyusutan kepercayaan dalam upaya untuk memberikan
arti lebih dari sebuah eksistensi.
0 comments:
Post a Comment