Saturday 25 April 2015

Makalah Struktural Fungsional Talcot Parson


PEMBAHASAN

A.    Biografi Talcot Parson
Talcot Parson lahir pada tahuan 1902 di Spring, Colorado. Ia berasal dari keluarga yang religius dan berintelektual. Ayahnya merupakan seorang pendeta, profesor dan rektor di sebuah perguruan tinggi. Ia menempuh pendidikan di Universitas Amherst, kemudian ia pindah ke Sekolah Ekonomi London untuk mendapatkan gelar sarjananya. Setelah itu Parson pindah ke Heidelberg Jerman untuk melanjutkan pendidikannya dan pemikirannya mendapat pengaruh dari Max Weber hingga akhirnya dalam sebagian tulisan desertasinya berisi penjelasan karya Weber.
Pada tahun 1927 ia mulai mengajar di Hardvard University hingga akhir hayatnya (1979). Setelah karier akademisnya maju pesat, ia menjadi ketua jurusan sosiologi pada tahun 1944. Dua tahun setelahnya ia mendirikan Departemen Hubungan Sosial.  Pada tahun 1949 ia terpilih menjadi presiden The American Sociological Association.
Karya terpentingnya adalah : The Structur of Social Action / Struktur aksi sosial (1937), The Social System / Sistem Sosial (1951),  Toward a General  Teori Action / Menuju Teori Umum Tentang Perilaku (1971),  dan The System of Modern societies / Sistem Masyarakat Modern (1971).[1]

B.     Asumsi Pemikiran Talcot Parson
Graham Konloch mengemukakan beberapa asumsi pokok Talcot Parson masyarakat[2] :
1.      Ia mengasumsikan sistem sosial memunculkan sui genesis, yaitu masyarakat memiliki realitas independen untuk melintasi eksistensi individu sebagai suatu sistem interaksi.
2.       Dalam suatu struktur sosial atau sub-sistem masyarakat terdapat sejumlah fungsi utama yang mendasarinya (struktur mewakili fungsi) atau problem sistem yang mendasarinya. Fungsi-fungsi tersebut terdiri dari adaptation (organisasi perilaku – basis peran dan sistem ekonomi), goal attainment (sistem kepribadian – basis pembedaan), integration (sistem sosial yang didasarkan pada norma-norma yang mengikat individu dengan masyarakatnya melalui integrasi normatif)  dan latency (pola pertahan – sistem budaya nilai-nilai dan nilai-nilai generalisasi).
3.      Sistem sosial sebaiknya terdiri dari empat subsistem yaitu : komunitas masyarakat (integration), pola-pola pertahanan (latency), proses pemerintahan (goal attainment) dan ekonomi (adaptation).
4.      Pandangan masyarakat ini adalah didasarkan pada sifat hakiki sistem kehidupan pada semua tingkatan organisasi dan perkembangan evolusioner.
5.      Parson juga menganalogikan masyarakat sebagai sistem biologis natural.
6.      Akan tetapi sistem tersebut tidak dipandang statis: daripada suatu kapasitas yang dimilikinya untuk evolusi adaptif.
7.      Budaya Kristen atau instrumen barat dipandang sebagai penggerak utama proses-proses evolusi dan modernisasi masyarakat.
Sementara itu George Ritzer dalam bukunya Teori Sosiologi Modern mengemukakan asumsi Parson yang kelihatannya lebih menempatkan keteraturan masyarakat dibanding perubahan sosial, yaitu sebagai berikut :
1.      Sistem memiliki keteraturan dan bagian-bagian yang tergantung.
2.      Sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan.
3.      Sistem mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan teratur.
4.      Sifat dasar bagian suatu sistem  berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lain.
5.      Sistem memelihara batas-batas dengan lingkungannya.
6.      Alokasi integrasi merupakan proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem.
7.      Sistem cenderung menuju kearah pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda  dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam.

C.    Teori Struktural Fungsional Parson
Dalam fungsionalisme struktural Talcot Parson, terdapat empat fungsi penting untuk semua sistem tindakan yang sering dikenal dengan singkatana AGIL (Adaptation, Goeal Attainment, Integration dan Latncy. Menurut Parson, agar suatu masyarakat bisa tetap survive maka di dalamnya harus terdapat ke-empat fungsi tersebut. Skema desain AGIL yang dibuatnya ini digunakan untuk analisis sistem teoritis disemua tingkatan.
Adaptation (adaptasi), sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat.[3] Artinya sebuah sistem yang ada pada masyarakat tersebut harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan tersebut dengan kebutuhannya.
Goal Attainment (Pencapaian Tujuan), Sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya.[4] Artinya sebuah sistem sosial yang ada dalam masyarakat akan tetap langgeng selama pencapaian tujuan dari sistem sosial tersebut masih dapat terdefinisikan oleh anggota masyarakatnya.
Integration (Integrasi), Sebuah sistem harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya.[5] Artinya sistem yang ada dimasyarakat tersebut harus mampu mengelola komponen atau fungsi-fungsi penting yang lainnya. Menurutnya persayaratan utama bagi terpeliharanya integrasi pola nilai di dalam sistem adalah proses sosialisasi dan internalisasi yang kemudian menjadi bagian dari kedaran aktor mengabdi pada kepentingan sistem sebagai satu kesatuan.
Latency (Pemeliharaan pola) maksudnya sistem tersebut akan mungkin tetap survive jika sistem itu mampu memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki  dirinya baik berupa motivasi individu maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
Ia juga menjelaskan konsep AGIL-nya melalui sistem struktur tindakan yang meliputi organisme perilaku, sistem kepribadian, sistem sosial dan sistem kultural. Organisme perilaku merupakan sistem tidakan yang melaksanakan fungsi adaptasi dengan cara beradaptasi (menyesuaikan diri) dengan lingkungan dan juga mengubah lingkungan eksternalnya. Sementara sistem kepribadian berfungsi untuk melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistem dan memobilisasi sumberdaya untuk mencapainya. Kemudian sistem sosial menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Terakhir sistem kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan cara menyediakan seperangkat nilai dan norma yang memotivasi aktor untuk bertindak.[6]
Parson sendiri mendefinisikan sistem sosial sebagai sejumlah aktor-aktor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik, aktor-aktor yang mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecenderungan untuk “mengoptimalkan kepuasan”, yang berhubungan dengan situasi mereka didefinisikan dan dimediasi  dalam term sistem simbol bersama yang terstruktur secara kultural. Definisi tersebut menekankan beberapa konsep-konsep kunci (inti) dari pemikirannya yang meliputi aktor, interkasi, lingkungan, optimalisasi, kepuasan dan kultur.
Parson melihat sistem sosial sebagai sebuah interaksi, namun ia menggunakan status dan peran sebagai unit fundamental dalam studi sistem sosialnya. Status mengacu terhadap suatu posisi struktural aktor dalam sistem sosial. Sementara peran merupakan apa  yang harus dilakukan oleh aktor dalam posisi tersebut. Aktor tidak dilihat dari sudut pikiran dan tindakan, tetapi dilihat dari beberapa status dan peran yang dimilikinya. Disamping itu, ia juga memusatkan perhatian pada komponen sistem sosial berskala luas seperti kolektivitas, nilai dan norma. Perbedaan individual tidak akan menjadi problem dalam sistem sosial, jika sistem sosial tersebut memberikan toleransi penyimpangan-penyimpangan tertentu, kemudian adanya pengendalian sosial serta adanya ruang yang memungkinkan adanya perbedaan kepribadian.
Parson mengemukakan beberapa persyaratan fungsional dari suatu sistem sosial, yaitu :
1.      Sistem sosial harus terstruktur (ditata) sedemikian rupa sehingga bisa beroperasi dalam hubungan yang harmonis dengan sistem yang lainnya.
2.      Sistem sosial harus mendapat dukungan dari sistem sosial yang lain untuk menjaga kelangsungannya.
3.      Sistem sosial harus mampu memenuhi kebutuhan para aktornya dalam proporsi yang signifikan.
4.      Sistem sosial harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para anggotanya.
5.      Sistem sosial harus mampu mengendalikan perilaku yang berpotensi menggangu kelangsungannya.
6.      Sitem sosial memerlukan bahasa demi kelangsungannya.

Dia membedakan antara antara empat struktur atau subsistem dalam masayarakat berdasarkan fungsi yang dilaksanakan dalam masyarakat yang bersangkutan (AGIL). Ekonomi (economy) adalah subsistem yang melaksanakan fungsi masyarakat menyesuaikan diri terhadap lingkungan melalui tenaga kerja, produksi dan alokasi. Pemerintah (polity) melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan mengejar tujuan-tujuan kemasyarakatan serta memobilisasi aktor dan sumberdaya untuk mencapai tujuan. Sistem fiduciary (contohnya seperti sekolah, keluarga) menangani fungsi pemeliharaan pola (latency) dengan cara menyebarkan kultur (value dan norm) kepada aktor sehingga aktor menginternalisasikan kultur tersebut. Sementara fungsi integrasi dilaksanakan oleh komunitas masyarakat yang mengkoordinasikan berbagai komponen masyarakat, contohnya seperti hukum. Ia juga menambahkan bahwa sepenting-pentingnya struktur lebih penting lagi sistem kultural bagi sistem sosial.
Dalam pandangan Parson kultur merupakan kekuatan utama yang mengikat berbagai unsur dunia sosial. Ia mendefinisikan kultur sebagai sistem simbol yang terpola, teratur yang menjadi sasaran, orientasi aktor, aspek-aspek kepribadian yang sudah terinternalisasikan, dan pola-pola yang sudah terlembaga di dalam sistem sosial. Menurutnya kultur merupakan kekuatan utama yang mengikat sistem tindakan dimana kultur menjadi penengah interaksi antara aktor, menginteraksikan kepribadian serta menyatukan sistem sosial. Sistem sosial terwujud dalam bentuk nilai dan norma yang diinternalisasikan dan dijadikan sebagai kepribadian aktor.
Sistem kepribadian dalam pandangan Parson erat kaitannya dengan personalitas ysng komponen dasarnya ialah “disposisi kebutuhan”. Disposisi kebutuhan merupakan dorongan hati yang dibentuk oleh lingkungan sosial.[7] Disposisi kebutuhan memaksa aktor menerima atau menolak objek yang tersedia dalam lingkungan atau mencari objek baru bila objek yang tersedia tidak dapat memuaskan disposisi kebutuhan secara memadai. Anggapan tersebut menimbulkan citra aktor yang sangat pasif dimana tindakan yang dilakukan oleh mereka dipaksa oleh dorongan hati yang didominasi oleh kultur.
Studi Parson mengenai perubahan sosial adalah mengenai teori evolusi yang disebutnya dengan “paradigma perubahan evolusioner”. Komponen utamanya adalah proses diferensiasi yang mana ia mengasumsikan bahwa masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, subsistem baru terdiferensiasi. Intinya aspek esensial dalam paradigma evolusioner parson adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri.
Asumsinya mengenai perubahan yang cenderung positif tersebut membuatnya dianggpa sebagai teoritisi konservatif yang cenderung memusatkan perhatiannya pada aspek positif dari perubahan sosial. Ia menganggap ketika perubahan itu terjadi maka umumnya masyarakat itu tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik dalam menanggulangi masalah.

D.    Kritik Terhadap Teori Strukturalisme Fungsional Parson
1.      Teori dan pandangan Talcot Parson dianggap sangat konservatif oleh penganut koflik sosial Marxian karena terlalu berorientasi statis kepada keteraturan dalam masyarakat dibanding perubahan sosial sehingga ia sempat mendapat kecaman keras hingga akhirnya ia pun mencurahkan perhatiannya terhadap evolusi masyarakat. (sayap sosiologi radikal Amerika Serikat).
2.      Robert K. Merton salah satu murid dari Parson, ia mengkritik konsep fungsionalisme struktural gurunya tersebut melalui konsep disfungsi-nya karena selama ini Parson hanya memperhatikan aspek fungsional saja.. Sebagaiamana suatu struktur sosial atau pranata sosial dapat menyumbangkan pemeliharan fakta-fakta sosial lainnya, sebaliknya ia juga akibat-akibat yang bersifat negatif. Ia menyatakan bahwa pranata sosial bisa fungsional bagi suatu unit sosial tetapi bisa disfungsional bagi unit sosial yang lain.
3.      George Ritzer[8] menyatakan bahwa ke-empat sistem tindakan yang dikemukakan oleh Talcot Parson (AGIL) sebenarnya tidak muncul dalam kehidupan nyata, namun tidak lebih dari hanya sekedar peralatan analisis untuk menganalisis kehidupan nyata.
4.      Menurut kami, terdapat kekaburan dalam penjelasan Parson mengenai hubungan dialektik antara fungsi goal attainment yang dilaksanakan oleh “pemerintah” dengan konsep “sistem kepribadian”. Konsep sistem kepribadian sendiri merujuk pada sistem orientasi dan motivasi tindakan yang dibentuk oleh lingkungan sosial. Konsep tersebut memunculkan citra aktor pasif yang mana mereka bertindak berdasarkan dorongan hati yang didominasi oleh kultur.

E.     Analisis dan kesimpulan
Berikut analisis kami mengenai teori struktural fungsional dari Talcot Parson :
1.      Latar belakang kehidupan pendidikan Parson dari bidang biologi di Amhers dan Ekonomi di London menjadikan pemikirannya berbau organisme biologis dan juga memasukan ekonomi keladam teorinya. Hal itu dibuktikan dengan penekankan konsep adaptasi aspek esensial dalam “paradigma perubahan evolusionernya” dan subsistem masyarakat berdasarkan fungsi adaptasi oleh sistem ekonomi.
2.      Perpindahannya ke Heidelberg Jerman membuat struktural fungsional mendapat pengaruh dari Max Weber. Hal tersebut dibuktikan dengan konsep sistem struktur tindakannya. Meskipun ia menganalisis sistem sosial, tetapi ia tidak mengabaikan masalah hubungan antara aktor dengan struktur sosial.
3.      Asumsinya mengenai kecenderungan masyarakat untuk bergerak ketitik keseimbangan (equilibrium) membuatnya dianggap sebagai tokoh konservatif.[9]
4.      Parson juga memandang bahwa sistem sosial masyarakat akan tetap survive selama memiliki fungsi adaptation, goal attainment, integratin dan latency. Namun, Ritzer memandang ke-empat fungsi tersebut sebagai alat analisis kehidupan nyata saja.



5.       
DAFTAR PUSTAKA

Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda, terjemahan: Ali Ramdani, Jakarta: Rajawasli Pers, 2014
Kinloch, Graham C. Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi, Bandung: Pustaka Setia, 2009
Ritzer, George. Teori Sosiologi Modern, terjemahan Alimandan, Jakarta : Kencana Prana Media Group, 2012




[1] Graham C. Kinloch, Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi, Bandung: Pustaka Setia, 2009, hlm. 188
[2] Loc.cit
[3] George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, terjemahan Alimandan, Jakarta : Kencana Prana Media Group, 2012, hlm. 121
[4] Loc.Cit
[5] Loc. Cit

[7] George Ritzer, Op.cit, hlm. 131
[8] George Ritzer, Op.cit, hlm. 124
[9] Dalam KBBI diartikan dengan : kolot, bersikap mempertahankan keadaan, kebiasaan dan tradisi yang berlaku.

Friday 24 April 2015

PETER L. BERGER – KONSTRUKSI SOSIAL (Pembetukan Realitas Secara Sosial : Sintesa Strukturalisme dan Interaksionisme)



Pemikiran Berger mengenai konstruksi sosial dituangkan dalam Karya yang terkenal, yaitu Inovation to Sociology (1963) dan The Social Construction of Reality (1966) yang ditulis bersama temannya, Thomas Luckmann. Dalam bukunya tersebut, dinyatakan bahwa realitas terbentuk secara sosial, oleh karenanya sosiologi sebagai ilmu pengetahuan harus menganalisa bagaimana proses tersebut terjadi.
Menurut Berger, sosiologi merupakan usaha sistematis untuk memahami dunia sosial tanpa harus terpengaruh oleh berbagai harapan dan kecemasan. Untuk menjadi seorang sosiolog, orang tidak musti harus menjadi seorang propagandis atau pengamat yang mati rasa, melainkan ia harus berada dalam ketenggangan eksistensial dengan nilai-nilai seseorang, khususnya nilai-nilai yang dipegang teguh. Pemikiran Berger mengenai konstruksi realitas secara sosial dipengaruhi oleh gurunya, yaitu Alfred Schutz. Kuliah-kuliah yang diberikan Schutz mendorong Berger untuk mengembangkan  model teoritis sosiologi mengenai bagaimana dunia sosial terbentuk.
Berger berpendapat bahwa realitas sosial secara objektif memang ada, tetapi maknanya berasal “dari” dan “oleh” hubungan subjektif (individu) dengan dunia objektif. Senada dengan fenomenologis, Berger menyetujui bahwa dalam dunia sosial terdapat realitas berganda yaitu realitas sehari-hari dan realitas ilmiah. Realitas sehari-hari merupakan realitas yang teratur, terpola dan diterima begitu saja tanpa dipermasalahkan.
Menurut Berger, terdapat tiga elemen dalam masyarakat yang bergerak secara dialektis, yaitu : internalisasi, eksternalisasi dan objektivasi. Internalisasi merupakan proses dialektis dari pembentukan relitas dimana sosialisasi terjadi. Kemudian, eksternalisasi merupakan ‘momen’ dalam proses dialektis dimana individu secara kolektif dan perlahan-lahan mengubah pola-pola dunia sosial objektif. Ekternalisasi ini menunjukan proses dimana manusia yang belum disosialisir sepenuhnya bersama-sama membentuk realitas baru. Sementara itu, objektivasi merupakan momen dalam proses dialektis dari pembentukan relitas yang membatasi realitas sosial objektif.
Berger menegaskan bahwa realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi subjektif dan objektif. Manusia merupakan instrumen yang menciptakan realitas sosial yang ‘objektif’ melalui proses eksternalisasi, tetapi disisi lain ia juga memperngaruhinya melalui proses internalisasi yang mencerminkan realitas subjektif.
Masyarakat sebagai realitas objektif dapat dilihat melalui hubungannya dengan lembaga-lembaga sosial sebagai produk dari kegiatan manusia. Hukum dasar yang mengendalikan dunia sosial yang objektif adalah keteraturan. Sosiologi melihat keteraturan sebagai prasyarat primer kehidupan sosial, serta memandang masyarakat dalam esensinya sendiri merupakan tertib yang semestinya ada atas serangkaian pengalaman manusia yang berubah-ubah. Dengan demikian, Berger memandang bahwa masyarakat di satu sisi tidak menginginkan adanya kekacauan, tetapi disisi lain masyarakat juga merasa bosan dengan situasi yang vakum.
Sementara itu, masyarakat sebagai realitas subjektif dapat dilihat dari dua momen proses dialektis pembentukan realitas sosial, yaitu internalisasi dan eksternalisasi. Melalui proses internalisasi (sosialisasi) individu dihadapkan pada agen-agen sosialisasi yang memperkenalkannya pada dunia sosial objektif. Realitas objektif tersebut kemudian diinternalisasikan berdasarkan penafsiran dari individu yang bersangkutan. Sehingga setiao individu memiliki “versi” realitas yang dianggapnya sebagai cermin dari dunia objektif.
Dalam struktur sosial, terdapat peranan perilaku terpola yang mana di dalamnya individu menjalankan kegiatan yang sesuai dengan ukuran-ukuran pelaksanaan peranannya tersebut. Berger memandang peranan sebagai unit dasar aturan terlembaga yang ojektif. Berger tidak melihat masyarakat sebagai produk akhir, melainkan sebagai sebuah proses yang sedang terbentuk. Dalam masyarakat terdapat proses diamana suatu realitas mampu membentuk dan juga menghambat para pratisipannya. Realitas masyarakat objektif membebaskan  aktor untuk memilih sejumlah pilihan, namun pilihan tersebut bersifat terbatas.
Sama seperti halnya Weberian, Berger dan Luckmann menyetujui bahwa dunia institusional yang objektif ini membutuhkan legitimasi. Legitimasi sendiri merupakan “cara penjelasan atau pembenaran” sebagai asal-usul serta proses pembentukan pranata sosial. Legitimasi berasal dari interaksi antar individu yang menjadi tanda terima bagi dunia sosial objektif. Dalam padangan Berger, sekulerisasi merupakan sebuah dilema yang mengancam kepercayaan dan pengalman keagamaan bagi masyarakat modern. Padahal menurutnya, agama merupakan benteng yang paling tangguh untuk melawan eksistensi tanpa-atri (meaninglessness). Agama merupakan sumber legitimasi yang paling efektif dalam dunia sosial. Namun dengan adanya sekulerisasi, maka terjadilah penyusutan kepercayaan dalam upaya untuk memberikan arti lebih dari sebuah eksistensi.



Thursday 23 April 2015

Etnografi



Secara etimologi, kata "Etnografi" berasal dari bahasa Yunani "ethnos" 'yang berarti ''rakyat'' dan "graphia" yang berarti ''tulisan". Secara sederhana etnografi merupakan strategi penelitian ilmiah yang sering digunakan dalam ilmu sosial, terutama dalam antropologi dan beberapa cabang sosiologi

Wednesday 22 April 2015

Talcot Parson dan Pemikirannya



George Ritzer dalam bukunya “Sosiologi Berparadigma Ganda” menggolongkan aliran struktural fungsionalisme ini kedalam paradigma fakta sosial. Paradigma tersebut dimotori oleh Emile Durkheim sebagai pemuka eksemplarnya yang menyatakan bahwa sesuatu yang harus menjadi pokok persoalan sosiologi adalah fakta sosial. Fakta sosial sendiri terdiri atas kompok atau kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, posisi, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan lain sebagainya.
Teori struktural fungsional menggambarkan reaksi sistemik yang terjadi dalam masyarakat yang selalu berorientasi pada titik keseimbangan (equilibrium) terhadap masalah-masalah politik, sosial dan ekonomi. Arah orientasi filosofis fungsionalisme struktural lebih menekankan pada hukum-hukum alam, perubahan sosial progresif, reformisme sosial, dan analogi organik pada masyarakat, dalam suatu sistem nilai yang pragmatis dan non idealistik.
Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan.[1] Salah satu tokoh dari mazhab ini adalah Talcot Parson. Parson memandang bahwa masyarakat memiliki karakteristik yang universal, sehingga memungkinkan dikembangkannya teori yang bisa diterapkan pada semua masyarakat, yaitu evolusi dan perkembangannya.



[1] George Ritzer, Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda, terjemahan: Ali Ramdani, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, hlm. 21

Monday 20 April 2015

Proses Ekonomi


Saturday 18 April 2015

Talcot Parson dan Pemikirannya

Pierre Bourdieu

Analisa Sosial : membuka Ruang Lebih Lebar untuk Sosiolog sebagai Ilmu

Wednesday 15 April 2015

Empat Fenomena Kebutuhan dan Keinginan


Oleh Trisna Nurdiaman

Pada hakikatnya, seluruh tindakan dan perilaku manusia selalu didasarkan pada dua hal, yaitu kebutuhan dan keinginan. Tindakan dan perilaku manusia pada dasarnya didorong oleh adanya kebutuhan dan keinginan yang melekat pada dirinya baik dari aspek biologis maupun aspek psikologis. Kebutuhan merupakan sesuatu hal yang jika tidak terpenuhi akan mengganggu kelangsungan hidup dari individu yang bersangkutan. Artinya kebutuhan merupakan sesuatu hal yang harus dipenuhi dan bersifat memaksa. Sementara itu keinginan merupakan sesuatu hal yang jika tidak terpenuhi, tidak akan mengganggu kelangsungan hdup individu yang bersangkutan. Oleh karena itu keinginan bersifat sukarela dan musti arus terpenuhi.
Kesamaan antara kebutuhan dan keinginan adalah sama-sama merupakan sesuatu hal yang diupayakan manusia untuk dipenuhi. Kebutuhan dan keinginan manusia terbagi kedalam dua jenis, yaitu kebutuhan dan keinginan yang bersifat alami serta kebutuhan dan keinginan yang bersifat konstruksial. Kebutuhan dan keinginan alamiah manusia bersifat kodrati (bawaan sejak lahir) yang melekat pada setiap individu. Sementara itu kebutuhan dan keinginan konstruksial muncul karena adanya pengaruh lingkungan sosial yang mengkonstruksikan kebutuhan-kebutuhan dan keingingan-keinginan tertentu yang menjadi standar hidup dalam suatu masyarakat.
Tindakan manusia yang di dasarkan pada kebutuhan dan keinginan sangat sulit diidentifikasi, apakah tindakan tersebut di dasarkan pada kebutuhan? Atau didasarkan pada keinginan? Perlu diketahui bahwa kebutuhan dan keinginan manusia selalu difomulisasika ke dalam suatu tujuan yang pada akhirnya di manifestasikan dalam tindakan dan perilaku. Oleh, karena itu, untuk mengidentifikasi lebih jauh mengenai kebutuhan dan keinginan yang menyangkut masalah tindakan dan perilaku manusia, maka ada empat fenomena kebutuhan dan keingina yang harus diketahui, yaitu :
1.      Membutuhkan tapi tidak menginginkan
Pada fenomena ini, tindakan dan perilaku manusia sepenuhnya terjadi karena adanya paksaan baik dari faktor internal (biologis dan prikologis) ataupun faktor eksternal (kondisi sosial dan struktur sosia). Contohnya, seseorang terpaksa mencuri barang milik orang lain demi meredakan rasa lapar dan dahaganya. Pada kasus laninya, seseorang individu terpaksa mematuhi nilai dan norma masyarakatnya demi mempertahankan eksistensinya sebagai anggota masyarakat yang terwujud dalam betuk pengakuan dan penghargaan dari anggota mayarakat yang lainnya.

2.      Menginginkan tapi tidak membutuhkan
Fenomena ini adalah kebalikan dari fenomena yang sebelumnya dimana tidakan dan perilaku manusia sepenuhnya terjadi karena adanya kehendak individu itu sendiri. Misalnya, seorang mahasiswa mengkuti kegiatan bakti sosial karena ia merasa iba terhadap orang lain yang terkena musibah. Contoh lainnya adalah seseorang yang membuat sebuah tweet yang kontroversial di Twitter demi mendapatkan perhatian dari orang lain. Pada kasus-kasus tersebut, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aktor disebabkan karena adanya ‘keinginan’ tertentu yang mendasarinya. Sehingga ia mengambil tidakan yang dianggap dapat memenuhi keinginan tersebut.

3.      Membutuhkan sekaligus menginginkan
Pada fenomena ini, tindakan yang dilakukan oleh aktor tidak hanya dilatarbelakamgi oleh adanya paksaan, tetapi juga karena adanya kehendak yang turut serta mendoronganya. Contohnya, seseorang bersedekah kepada fakir miskin, ia melakukan sedekah tersebut bukan hanya karena adanya perintah yang  tercantum dalam kitab suci, tetapi karena ia juga bersimpati terhadap keadaan sesamanya.

4.      Tidak membutuhkan dan tidak pula menginginkan

Pada fenomena ini, aktor tidak melakukan suatu tindakan karena tidak adanya motivasi yang mendorong terjadinya tindakan tersebut. Contohnya, seseorang mahasiswa menolak ajakan temannya untuk berdemo karena menurutnya hal tersebut bukanlah sesuatu hal yang penting untuk dilakukan. Hal tersebut sebenarnya akan dianggap penting apabila terdapat sesuatu yang memaksanya untuk bertindak atau adanya suatu keinginan yang mungkin bisa dipenuhi apabila melakukan tindakan tersebut.