BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Secara sederhana agama dapat definisikan
sebagai suatu sistem kepercayaan dalam masyarakat terhadap kekuatan adikodrati
(supranatural). Menurut Johnstone[1] agama
adalah sistem keyakinan dan praktek sebagai sarana bagi sekelompok orang untuk
menafsirkan dan menanggapi apa yang mereka rasakan sebagai pengada adikodrati
(supranatural) dan kudus. Sementara itu Anthony F.C. Wallace mendefinisikan
agama sebagai seperangkat upacara yang diberi rasionalisasi mitos, yang
menggerakan kekuatan-kekuatan supernatural untuk mencapai dan menghindarkan
perubahan kepada manusia dan alam.[2]
Setiap tokoh ilmu sosial mempunyai definisi
dan pandangan yang berbeda terhadap agama. Hal tersebut disebabkan karena
adanya perbedaan tipologi masyarakat beragama yang mereka amati. Karl Marx
memandang agama sebagai candu rakyat karena tipologi masyarakat beragama yang
ia amati saat itu cenderung melegitimasi perbedaan kelas yang kemudian ia
anggap sebagai “eksploitasi kelas”. Lain halnya dengan Marx, Weber justeru
memandang agama sebagai penentu kekuatan ekonomi. Tipologi masyarakat protestan
yang ia amati saat itu mempunyai jiwa kewirausaahaan dan etos kerja tinggi
sebagai akibat dari adanya ajaran konsep predistinasi.
Berdasarkan paparan diatas, maka penulis tertarik untuk mendalami lebih
jauh materi bahasan mengenai “Tipologi masyarakat beragama”.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa maksud dari tipologi masyarakat beragama?
2.
Bagaima tipologi masyarakat beragama?
3.
Bagaiamana tipologi masyarakat beragama dalam Islam?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk memahami maksud dari tipologi masyarakat beragama.
2.
Untuk mengetahui tipologi masyarakat dalam beragama.
3.
Untuk mengetahui bagaimana tipologi masyarakat beragama
dalam Islam.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
A. Pengertian
Tipologi Masyarakat Beragama
Secara etimologi, kata tipologi berasal dari
bahasa Yunani, yaitu “typos” dan “logos” yang bearti ilmu
pengelompokan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tipologi dartikan
sebagai ilmu watak tentang bagian manusia dalam golongan-golongan menurut corak
watak masing-masing. Dengan demikian, tiopologi dapat didefinsikan sebagai
kajian suatu bidang ilmu dalam mendeskripsikan kelompok-kelompok yang
didasarkan atas kesamaan karakter atau watak.
Sementara itu kata masyarakat dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai sejumlah manusia dalam arti
yang seluas-luasnya yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.
Maclver dan Page[3]
mendefinisikan masyarakat sebagai suatu sistem dari kebiasaan dan tatacara dari
wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan pengawasan tingkah laku
serta kebebasan-kebebasan manusia. Sementara Ralph Linton[4]
mendefinikannya sebagai setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja
besama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap
diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan
dengan jelas.
Agama secara etimologi berasal dari kata “a”
yang berarti “tidak” dan “gamma” yang berarti “kacau”. Jadi secara
bahasa agama dapat diartikan dengan keadaan “tidak kacau”. Feuerbach[5]
mengatakan bahwa agama merupakan alat psikologi yang digunakan untuk
menggantungkan harapan, kebaikan dan ideal-ideal yang kita rancang sendiri.
Menurut E. B. Taylor dalam bikunya The Primitive Culture mengatakan
bahwa adalah keyakinan tentang adanya makhluk spiritual.[6]
Menurut Johnstone[7] agama
adalah sistem keyakinan dan praktek sebagai sarana bagi sekelompok orang untuk
menafsirkan dan menanggapi apa yang mereka rasakan sebagai pengada adikodrati
(supranatural) dan kudus.
Berdasarkan paparan diatas, maka yang dimaksud
dari tipologi masyarakat beragama adalah pengelompokan masyarakat beragama ke
dalam jenis-jenis kelompok yang
didasarkan atas kesamaan corak, watak dan karakteristik tertentu yang
menandainya.
B. Tipologi
Masyarat Beragama
Setiap masyarakat mempunyai karakteristik
tersendiri dalam beragama. Hal tersebut disebabkan karena adanya perbedaan
latar belakang budaya, konsep pemikiran dan dinamika sosial yang
mempengaruhinya. Tipologi masyarakat beragama pada hakikatnya tidak bersifat
absolut atau mutlak, tetapi bersifat relatif dan gradual. Karena sejatinya
masyarakat itu bersifat dinamis dan selalu ada hubungan timbal balik atau
proses saling mempengaruhi satu sama lain sehingga perbedaan antar tipologi
masyarakat dalam beragama tersebut kadang tidak terlihat secara kontras.
Terdapat perbedaan pendapat dari para tokoh
dalam menggolongkan tipologi masyarakat dalam beragama. Hal tersebut berkaitan
dengan perbedaan sudut pandang, titik penentu dan kategori yang diajukan oleh
tokoh tersebut. Berikut beberapa tipologi masyarakat beragama menurut para
tokoh :
1. Tipologi Masyarakat Beragama Berdasarkan Latar
Sosial-Ekonomi Masyarakatnya
Menurut Elizabeth K. Notingham, terdapat tiga
tipe umum masyarakat beragama, yaitu masyrarakat dengan nilai-nilai sakral yang
kuat sekali, masyarakat dengan nilai-nilai sekuler dan masyarakat yang berada
diantara keduanya. Banyak perbedaan kecil yang tidak mudah dilihat dalam
tingkat sekulerisasi dan dalam cara mengorganisasikan masyarakat yang ada.
Hal-hal tersebut tersebut tidak mungkin dilukiskan semuanya, namun hanya dapat
digambarkan beberapa perbedaan tertentu yang bersifat umum.[8]
a. Tipe Pertama :
Masyarakat yang terbelakang dan Nilai-nilai Sakral.
Masyarakat tipe ini biasanya terisolasi dan terbelakang, laju
perubahan sosial masih lambat, spesialisasi pekerjaan dan pembidangan
kelas-kelas sosial relatif kecil. Masyrakat ini biasanya menganut agama yang
sama. Organisasi keagamaan tidak terpisah dengan lembaga-lembaga sosial yang
lain. Segala sesuatu aktivitas kelompok baik bersifat sosial, ekonomi, politik
dan kekeluargaan selalu disisipi oleh pranata-pranata sosial keagamaan. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Malinowski pada penduduk pulau Trobiand,
aktivitas yang mereka lakukan seperti mebuat perahu dan bercocok tanam dikebun
yang pada hakikatnya bersifat ekonomi dan teknik selalu disertai oleh
upacara-upacara magis dan keagamaan. Dengan kata lain, agama mengatur aktivitas
masyarakat secara keseluruhan baik aktivitas sosial, ekonomi maupun politik.
Dalam masyarakat ini, agama berdiri tegak
tanpa tandingan sebagai fokus pemersatu bagi pemolaan kepribadian
individu-individu.[9] Agama
memberikan bentuk keseluruhan proses sosialisasi yang ditandai oleh adanya
ritual-ritual kegamaan pada setiap peristiwa yang dianggap penting seperti
kelahiran, perkawinan, kematian dan peristiwa penting lainnya. Agama mempunyai
pengaruh terhadap sistem nilai secara mutlak dan menjadi fokus utama bagi
pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan.
b. Tipe Kedua :
Masyarakat Pra-Industri yang sedang Berkembang.
Masyarakat tipe ini begitu terisolasi, laju
perubahannya lebih cepat, daerahnya lebih luas dan penduduknya relatif lebih
banyak dibanding dengan masyarakat tipe pertama. Pada masyarakat ini,
spesialisasi pekerjaanya lebih luas, masyarakat mulai terbagi kedalam
kelas-kelas sosial yang lebih banyak, memiliki kemampuan baca tulis pada
tingkat tertentu dan kehidupan sosial-ekonomi ditopang oleh aktivitas pertanian
dan industri tangan.
Dalam masyarakat tipe ini, agama dan
pemerintahan menjadi lembaga sosial yang sudah dianggap berbeda. Agama dan
pemerintahan dijalankan oleh tenaga profesional yang berbeda. Namun meskipun
organisasi keagamaan dan pemerintahan jelas berbeda satu sama lain, tetapi
penguasa tetap cnederung menuntut status yang sakral. Misalnya, kaisar-kaisar
suci bangsa Romawi di barat pada zaman pertengahan, mengukuhkan kekuasaan
sakral mereka dengan percikan minyak wangi oleh para paus.[10]
c. Tipe Ketiga :
Masyarakat Industri-Sekuler
Masyarakat tipe ini sangat dinamik, ilmu
pengetahuan dan teknologi semakin berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan
masyarakat termasuk salah satunya adalah agama. Lingkungan yang bersifat
sekuler meluas terus menerus seringkali mengorbankan lingkungan yang sakral.[11]
Masyarakat lebih mempercayai metode-metode empirik berdasarkan penalaran dan
efisisensi dalam menanggapi berbagai masalah kemanusiaan. Kecenderungan
sekulerisasi ini mempersempit ruang gerak kepercayaan-kepercayaan dan
pengamalan-penagamalan keagamaan yang terbatas pada aspek-aspek yang bersifat
kecil dan khusus. Kecenderungan sekulerisasi tersebut mendesak peranan agama
pada waktu dan tempat yang terbatas. Ikatan agama dengan pemerintahan dibatasi
dan diatur pada perturan khusus seperti halnya di Inggris.
Perbedaan-perbedaan agama dan sekulerisasi
pada masyarakat industri melemahkan fungsi agama sebagai alat pemersatu. Salah
satu ciri tersendiri pada masyarakat tipe ini adalah toleransi terhadap
perbedaan agama yang dibangun oleh nilai-nilai sekuler seperti paham
pluralisme. Nilai-nilai sekuler berkembang pada tataran ilmu pengetahuan,
nasionalisme, ekonomi dan politik. Akan tetapi meskipun demikian, masyarakat
masih mempercayai dan membenarkan nilai-nilai keagamaan sebagai landasan
pembentukan karakter bagi anak sebagai individu baru dalam masyarakat tersebut.
2. Tipologi Masyarakat Beragama Berdasarkan
Pandangan Teologisnya
Tipologi tripolar merupakan sebuah pendekatan
terhadap pandangan para teolog agama kristen terhadap agama-agama lain.
Tipologi tripolar ini dipopulerkan oleh Alan Race untuk digunakan sebagai
standar dalam studi teologi-teologi keagamaan. Berdasarkan hal tersebut,
menurutnya ada tiga tipologi masyarakat beragama yaitu: eksklusivisme,
inklusivisme dan pluralisme.
Eksklusivisme memandang bahwa keselamatan dan
kebenaran hanya ada dalam agama kristen. Sementara agama-agama lain dianggap
tidak benar dan tidak akan selamat di akhirat nanti. Oleh karena itu satunya
cara untuk menyelamatkan orang lain yang berada diluar agamanya adalah dengan
cara kristenisasi lewat misionaris atau dakwah kepada masyarakat lain yang
dianggap kafir. Eksklusivisme merupakan karakteristik dari masyarakat kristen
yang konservatif, terutama kalangan injil. Salah satu tokohnya adalah Karl
Barth.
Berbeda halnya dengan Eksklusivisme,
Inklusivisme memandang bahwa agama-agama lain pun yang berada di luar kristen
berada dalam rahmat Allah dan bisa diselamatkan melalui jalan yang hanya ada
dalam Yesus Kristus. Inklusivisme terbagi kedalam dua model, yaitu In spite
of dan By Means of. In spite of melihat agama lain sebagai
hambatan untuk menerima keselamatan, namun tidak menolak akan adanya
kemungikinan orang yang berasal dari agama lain dapat dielamatkan oleh rahmat
Allah. Sementara by means of merupakan pandangan positif terhadap agama
lain dimana dalam agama lain pun mengajarkan kebaikan dan kebenaran yang pada
hakikatnya sama-sama terorientasi pada kristus atau sering juga disebut “kristen
anonim”.
Sementara itu pluralisme memandang bahwa Allah
merupakan sesuatu yang nyata (The Real) yang dapat dikenali melalui
berbagai jalan menuju pada satu, yang nyata, yaitu Allah. Mereka bahkan melihat
Yesus Kristus sebagai salah satu dari jalan keselamatan diantara jalan-jalan
keselamatan yang lain. Salah satu tokoh yang terkenal dalam aliran ini adalah
John Hick. Ia mengatakan bahwa “Yang Nyata” sebenarnya adalah satu, namun
dimaknai dalam berbagai simbol dan tradisi keagamaan yang berbeda.
3. Tipologi Masyarakat Beragama Berdasarkan
Sikapnya
Komarudin Hidayat dalam bukunya “Ragam
Bergama” menyatakan bahwa terdapat lima tipologi sikap masyarakat dalam
beragama yaitu: eksklusivisme, inklusivisme, pluralisme, elektivisme dan
universalisme. Sebenarnya konsep ini diadopsi dari konsep “tipologi tripolar”
yang dikemukakan oleh Alan Race. Namun tipologi tersebut diperbaiki dengan
menambahkan tipologi elektivisme dan universalisme.
a. eksklusivisme
Dalam konsep ini, eksklusivisme merupakan pandangan
masyarakat dalam beragama bahwa ajaran agamanyalah yang paling benar. Sementara
agama lain dianggap sesat dan harus dihilangkan sehingga pada akhirnya rentan
menimbulkan konflik dengan pemeluk agama lain. Segala sesuatu pernyataan yang
ada dalam ajaran agama tersebut adalah benar, sementara pernyataan lain yang
berlawanan dari pernyataan tersebut dianggap salah. Seorang ahli ilmu
perbandingan agama, Friedrich Heiler menyatakan bahwa secara tradisional,
tradisi agama barat adalah eksklusif dalam sikap mereka terhadap agama-agama
lain dengan memberikan kepada agama mereka sendiri validitas mutlak.
Pandangan eksklusivisme tersebut ada hampir
pada setiap agama. Misalnya dalam agama kristen, dalil yang menguatkan
pandangan mereka terdapat pada Yohanes bab 14 ayat 6: “Aku adalah jalan dan
kebenaran hidup, tidak ada seoranng pun yang datang kepada Bapa kalau tidak
melaluiku”. Sepertihalnya dalam Kristen, dalam agama Islam pun terdapat
tipologi masyarakat yang berpandangan eksklusivisme. Pandangan eksklusivisme
ini diperkuat oleh adanya dalil dari kitab suci Al-qur’an yang menyatakan
bahwa:
1. “Sesunggunya agama (yang diridhai) disisi
Allah hanyalah Islam” (QS. Ali Imran [3]: 19)
2. “Barang siapa yang mencari agama selain
agama islam, maka sekali-kali tidaklah diterima (agama itu) daripadanya, dan
diakhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imran [3]: 85)
Menurut Komarudin, sifat eksklusivisme yang
memandang bahwa agamanyalah yang paling benar tersebut tidak sepenuhnya salah.
Sikap eksklusivisme ini tidaklah berarti bahwa mereka tidak toleran terhadap
agama lain, karena sesungguhnya tidak ada satupun agama yang membenarkan sikap
tidak toleran. Tetapi yang dimaksud sikap eksklusif ini berkenaan dengan
kualitas dan mutu ajaran agama yang didukung oleh bukti-bukti dan argumen yang
kuat. Karena sesungguhnya setiap manusia mencari agama yang eksklusif. Namun
meskipun begitu, sikap eksklusivisme ini tetap cenderung mempunyai fungsi laten
akan munculnya sikap tidak toleran, konfik antar agama dan sikap tidak kritis.
b. Inklusivisme
Tipologi masyarakat beragama tipe ini
memandang bahwa setiap agama mempunyai nilai kebenaran, meskipun tidak sebenar
agama yang dianutnya. Artinya mereka mempunyai sikap toleransi dalam pandangan
teologisnya. Mereka memandang bahwa setiap agama mengajarkan kebenaran dan
melarang kejahatan, namun esensi dari kesamaan ajaran tersebut dimanifestasikan
dalam bentuk, istilah dan simbolisasi yang berbeda. Bahkan Nurcholis Majid
menyatakan bahwa sikap inklusif adalah dengan memandang agama lain sebagai
bentuk implisit agama kita.
Dalam Islam, tokoh yang berpandangan
inklusivisme adalah Ibnu Taymiyah yang menggolongkan masyarakat beragama
menjadi orang islam khusus (muslim) dan islam umum (non-muslim). Ia mengatakan
bahwa semua nabi dan pengikutnya yang disebut oleh Allah adalah muslim. Kata
islam sendiri berarti berarti “pasrah pada Tuhan”. Islam inlkusif menafsirkan surat Ali Imran
ayat 85 yang berbunyi “Barang siapa
yang mencari agama selain agama islam, maka sekali-kali tidaklah diterima
(agama itu) daripadanya, dan diakhirat termasuk orang-orang yang rugi”
dengan tafsiran bahwa yang kata islam yang termaktub dalam ayat tersebut adalah
peristilahan untuk orang-orang Arab. Para Nabi lain dan setiap menganutnya adalah
muslim, namun mereka menggunakan istilah dari bahasa mereka masing-masing.
Sementara dalam agama kristen, salah tokohnya
yang berpandangan inklusif adalah Karl Rehner. Dalam bukunya “The
Theological Investigation” ia menyebut orang-orang yang beragama diluar
Kristen dengan “The Anonymous Christian” yang berarti “kristen anonim”.
c. Pluralisme
Pluralisme memandang bahwa semua agama itu
adalah benar, namun setiap agama mempunyai cara tersendiri dalam menjalankan
kebenaran dan memperoleh keselamatannya. Agama lain adalah jalan yang sama kesahannya
dalam mencapai kebenaran yang sama. Pandangan ini berangkat dari realitas
sosial bahwa dalam masyarakat terdapat pluralitas agama. Pluralitas agama ini
dipandang sebagai suatu yang “nyata” dan bersifat sejajar atau paralel. Oleh
karena itu mereka menganggap bahwa dakwah atau misionaris yang dilakukan
terhadap pemeluk agama lain adalah tidak relevan.
Pluralisme merupakan sebuah cara dalam
mendefinisikan diri di tengah-tengah agama lain. Paham pluralisme memandang
bahwa agama selain berfungsi sebagai alat pemersatu sosial, tetapi disisi lain
juga agama menjadi sumber konflik dengan agama yang lainnya. Dengan
berkembangnya paham pluralisme agama, berkembanglah suatu paham toelogia
religinum yang menekankan pentingnya berteologi dalam konteks agama.[12]
d. elektivisme
Elektivisme dalah suatu sikap yang berusaha
untuk mempertemukan dan menyeleksi berbagai ajaran dari semua agama.
Ajaran-ajaran yang diambil tersebut diseleksi dengan cara memilih nilai-nilai
yang dianggap baik dan sesuai dengan tuntutan zaman dan kepribadian masyarakat
yang bersangkutan. Dengan kata lain, elektivisme merupakan sinkretisme agama
yang memadukan berbagai ajaran-ajaran agama untuk mencapai kesesuaian dan
keserasian. Sementara iti Clifford Geertz melihat sinkretisme agama sebagai
satu sistem agama tersnediri yang telah menyerap unsur sistem-sistem agama
lainnya sedemikian tupa sehingga unsur-unsur asing itu beserta dengan inti
aslinya dianggap sebagai komponen dasar agama tersebut.[13]
e. Universalisme
Uneversalisme memandang bahwa semua agama pada
dasarnya adalah satu dan sama. Namun karena adanya faktor historis-antropologis
agama tersebut kemudian tampil dalam bentuk yang berbeda. Artinya,
universalisme memandang bahwa pada awalnya hanya ada satu agama, namun seiring
dengan perkembangan sejarah dan kebudayaan manusia agama yang ada dalam
tersebut hadir dalam bentuk yang berbeda. Meskipun begitu, pada hakikatnya
perbedaan yang ada pada agama-agama tersebut adalah cara pengungkapannya saja
yang berbeda, tapi apabila dilihat secara esensial semua agama tersebut sama.
C. Studi tentang
Tipologi Masyarakat Beragama di Indonesia
Secara garis besar, terdapat empat sistem
kebudayaan dalam masyarakat Indonesia,[14]
yaitu: (1) sistem budaya kelompok etnik pribumi, (2) sistem budaya agama-agama
besar Indonesia, (3) sistem budaya Indonesia yang mengintegrasikan masyarakat
secara total, serta (4) sistem budaya asing yang mempengaruhi pikiran, sikap
dan tindakan sebagian penduduk. Ke-empat sistem tersebut terakulturasi dalam
kepribadian masyarakat Indonesia. Akulturasi terjadi apabila dengan kebudayaan
tertentu dihadapkan pada unsur-unsur kebudayaan asingyang berebeda sedemikian
rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu dengan lambat-laun diolah dan
diterima kedalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian
kebudayaan itu sendiri.[15]
Setiap sistem budaya mengendalikan pikiran, tindakan dan perasaan orang yang
telah mengintegrasikannya. Pada saat ini orang-orang Indonesia telah
menginternalisasikan tiga sistem budaya yang berbeda, yaitu sistem budaya
etnik, sistem budaya agama dan sistem budaya nasional. Dalam sistuasi tertentu,
antar sistem-sistem tersebut kadang tidak selaras satu sama lain, sehingga penganutnya
harus memilih salah satunya. Realitas tersebut memeberikan pengaruh terhadap
cara masyarakat Indonesia mengekspresikan ritual keagamaannya. Berikut suatu
studi dari beberapa tokoh tentang tipologi perilaku beragama masyarakat di
Indonesia:
1. Clifford Geertz – Tipologi Beragama Masyarakat
Jawa (Studi Kasus di Mojokuto)
Studi tentang
karakteristik tipologi masyarakat beragama di Indonesia yang sangat terkenal
adalah tesis Clifford Geertz tentang Religion of Java. Geert telah
memetakan pemahaman dan kultur sebuah etnik dengan membanginya menjadi tiga
peta wilayah kultural: priyayi, santri dan abangan.[16]
Sebenarnya, Geertz melihat tipologi masyarakat beragama di Jawa sebagai satu
sinkretik dimana tiga varian berbeda dapat diamati yang meliputi varian animisme
(abangan), varian Hindu (priyayi) dan varian Islam (santri).[17]
Kaum abangan lebih cenderung bersifat animisme yang sebenarnya merupakan akar
budaya asli masyarakat Indonesia. Tradisi keagamaan abangan terdiri dari
sejumlah pesta upacara atau yang sering disebut dengan slametan.
Upacara-upacara yang terdiri dalam slametan tersebut terdiri dari
upacara kelahiran, khitanan, perkawinan, kematian, dan tanggal-tanggal
tertentu. Slametan merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia yang
melambangkan kesatuan mistis dan sosial bagi mereka yang ikut di dalamnya.[18]
Kelompok
abangan merujuk pada segolongan masyarakat muslim di Jawa yang mempraktikan
agama Islam yang lebih sinkretis dan cenderung lebih mengikuti kepercayaan adat
yang di dalamnya mengandung unsur tradisi hindu, Budha dan animisme. Kemudian
istilah santri mengacu pada sekelompok orang yang mengamalkan ajaran agama
sesuai dengan syariat Islam. Sementara sebutan priyayi mengacu pada sekelompok
orang yang memiliki kelas sosial ekonomi lebih tinggi atau sering juga disebut
dengan bangsawan.
2. Imam B. Jauhari – Tipologi Masyarakat Islam di
Indonesia
Meskipun
sebenarnya Imam B. Jauhari dalam bukunya Teori Sosial (Proses
Islamisai Ilmu Pengetahuam) tidak mengatakan secara eksplisit mengenai
tipologi masyarakat Islam di Indonesia, namun dalam buku tersebut ia
menerangkan bahwa terdapat tiga tipe masyarakat Islam sebagai realistas
representatif dalam pandangannya mengenai Islam dan negara.[19]
Pertama, aliran yang menginginkan adanya hubungan
formal antara Islam dan negara (fundamentalisme). Mereka menginginkan adanya
penerapan Islam secara kaffah dan mereka juga memandang bahwa syari’at
Islam itu bersifat absoluth sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasul sehingga
tidak boleh dirubah. Kelompok ini menghendaki agar syariat Islam dijadikan
sebagai landasan riil berbangsa dan bernegara. Target utama mereka adalah
pencantuman kembali Piagam Jakarta dalam UUD 1945. Aliran ini muncul di
Indonesia sejak tahun 1980-an, namun gerakan tersebut semakin masif setelah
jatuhnya orde baru. Gerakan formalisasi syariat ini lahir sebagai reaksi atas
konspirasi neo-kolonialisme Adikuasa dan Zionisme serta kebobrokan sistem
politik dan ekonomi Indonesia saat ini yang pada hakikatnya adalah produk
sekuler. Menurut kelompok ini, syari’ah mempunyai fungsi yang melingkupi lima
hal pokok, yaitu : 1) menjamin kemerdekaan orang beragama; 2) menjamin kesucian
keturunan; 3) melindungi akal; 4) mengayomi dan menjamin keselamatan manusia;
5) menjamin dan melindungi hak kebendaan manusia.
Kedua, aliran yang mengusung deformalisasi syariat
(sekulerisme). Menurut mereka, syariat Islam harus dimaknai secara substantif
dimana penerapan ajaran Islam sudah diterapkan secara individu, sehingga tidak ada alasan yang kuat untuk melakukan
formalisasi syariat Islam sebagai landasan bernegara. Kelompok ini menekankan
adanya penafsiran ulang Al-Qur’an dan Hadits yang dianggap sudah tidak relevan
dengan perkembangan zaman. Gerakan reformalisasi syari’at ini sangat aktif
dalam mengadakan kampanye tentang keharusan pemisahan yang jelas bagi hubungan
antar agama dengan negara.[20]
Menurut mereka negara tidak boleh mengintervensi kehidupan beragama, karena hal
tersebut akan menambah persoalan yang akan mempersulit posisi masing-masing.
Selan itu hal tersebut akan membuat paksaan-paksaan hukum dari satu pihak ke
pihak yang lain sehingga berdampak pada kekakuan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Menurut paham
sekulerisme ini, jika syariat diformalisasikan sebagai dasar negara, maka masyarakat
non-muslim akan turun derajat menjadi kelas nomor dua, karena derajat
orang-orang muslim dipandang lebih tinggi. hukum qisas tidak akan
berlaku jika yang membunuh adalah warga muslim dan yang dibunuh adalah
orang-orang kafir. Dalam buku Fikih Islam dikatakan bahwa “bagi
orang Islam yang membunuh orang kafir tidak berlaku qisas.[21]
Selain itu jaminan kebebasan beragama sebenarnya akan berkurang karena syariat
Islam membolehkan adanya hukuman mati bagi orang yang “murtad”.[22]
Pada level internasional syariat mengesahkan penggunaan kekerasan dalam
menyebarkan Islam dan tidak mengakui kedaulatan negara-negara non-muslim. Oleh
karena itu untuk mengakomodasi dan memediasi keberatan tersebut diperlukan
adanya reformasi hukum publik Islam yang sesuai dengan standar
konstitusionalisme, hukum pidana, hukum internasional dan HAM modern. Menurut
M. Mahmud Thaha diperlukan adanya “evolusi legislasi Islam” yang lebih
mengutamakan ayat-ayat Makiyah dari pada Madaniyah. Ayat-ayat makiyah lebih menekankan
martabat yang inhern pada seluruh umat manusia tanpa membedakan jenis kelamin,
keyakinan keagmaan, ras dan lain-lain.
Ketiga, aliran yang menolak Islamisasi dan
Sekulerisasi, mereka lebih memilih jalan tengah (moderat). Menurut mereka Islam
di Indonesia mempunyai kekhasan tersendiri, sehingga sekulerisasi dan Islamisasi
yang sejatinya adalah produk “impor” tidak cocok dengan identitas masyarakat
Indonesia. Baik fundamentalisme maupun sekulerisme sama-sama melakukan
ideologisasi dan indoktrinisasi.
Dalam studi
kasus di masyarakat Pamekasan, yang kehidupan bergama mereka sedikit liberal.
Mereka memandang bahwa jilbab lebih pantas dipakai oleh para gadis dan ibu-ibu
muda. Sementara perempuan yang sudah tua dianggap kurang pantas, dan lebih
pantas memakai kerudung biasa yang hanya menutupi rambutnya.[23]
Bahkan para gadis pun biasanya hanya menggunakan jilbab pada saat tempat-tempat tertentu saja seperti di
sekolah, pengajian, kondangan dan lain-lain. Sementara kalau pergi ke sawah
atau keladang, memakai jilbab justeru dianggap berlebihan. Hal tersebut
merupakan sebuah gambaran pemaknaan syari’at Islam menurut bahasa budaya.
BAB III : PENUTUP
Analisis dan
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dari pembahasan makalah
mengenai tipologi masyarakat beragama ini, maka kami menganalisis dan
menyimpulkan bahwa :
1.
Agama adalah seperangkat nilai dan norma yang mengatur
cara berpikir dan bertindak bagi pemeluknya, serta mengatur bagaimana cara
manusia berhubungan dengan Tuhan dan sesamanya.
2.
Tipologi masyarakat beragama merupakan pengelompokan
masyarakat kedalam golongan-golongan tertentu berdasarkan kesamaan
karakteristik sosial yang menandainya.
3. Latar belakang kebudayaan asal dalam
masyarakat berpengaruh terhadap cara masyarakat mengekspresikan agamanya.
4. Perbedaan konsepsi keagamaan akan mengenai
cara pandang akan pluralitas agama mengakibatkan terjadinya segmentasi dalam
agama tersebut.
5. Setiap tipologi masyarakat yang beragama
mempunyai sikap yang berbeda dalam menyikapi “klaim kebenaran” (truth climb)
yang diakui oleh setiap agama.
6. Agama di satu sisi menjadi alat pemersatu
sosial, tetapi disisi lain dapat menimbulkan konflik dengan agama yang lainnya.
Hal tersebut berkaitan denga klaim kebenaran yang diakui oleh semua pihak.
7. Konflik bernuansa keagamaan yang terjadi
ditengah-tengah masyarakat menimbulkan pemahaman dan sikap baru dalam perbedaan
agama seperti pluralisme, elektivisme dan universalime.
[1] Paul B.
Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi, Terjemahan Aminudin Ram dan Tita
Sobari, Jakarta: Erlangga, ______ , hlm. 304
[2] Beni
Ahmad Saebani, Pengantar Antropologi. Bandung: Pustaka Setia. 2012, hlm.
239
[3] Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rawali Pers, 2012, hlm. 22
[4] Loc.Cit
[5] Silfilia
Hanani, Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama, Bandung: Humaniora,
2011, hlm. 36
[6] Lihat di
: Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006, hlm.
17
[7] Paul B.
Horton. Op.cit. hlm. 304
[8]
Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat (suatu Pengantar Sosiologi
Agama), Terjemahan Abdul Muis Naharong, Jakarta: Rajagrafindo Persada.
1996, hlm. 49 -50.
[9] Ibid,
hlm. 53
[10] Ibid,
hlm. 55
[11] Ibid.
hlm. 60
[12] Dadang
Kahmad, Sosiologi Agama (Potret Agama dalam Dinamika Konflik), Bandung:
Putaka Setia, 2011, hlm. 185
[13]
Clifford Geertz. Abagan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa,
Terjemahan Aswab Mahasin. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1989. Hlm. 529
[14] Lihat:
Jacobus Ranjabar. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bandung: Ultimus.
2013, hlm. 143 - 150
[15]
Soerjono Soekanto. Sosiologi SuatuPengantar, Jakarta: Rajawali Pers,
2012, hlm. 168
[16] Silfia
Hanani, op.cit, hlm. 3
[17] Cilfford
Geertz, op.cit. hlm. 529
[18] Ibid.
Hlm 13
[19] Lihat :
Imam B. Jauhari, Teori Sosial (Proses Islamisasi dalam Sistem Ilmu
Pengetahuan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012, hlm. 187 - 188
[20] Ibid,
hlm. 194
[21] Lihat :
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (hukum Fiqih Lengkap). Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 2013. Hlm. 431
[22] "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak halal darah seorang
muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan
aku adalah utusan Allah kecuali dengan salah satu dari tiga sebab; (1) orang
tua yang berzina, (2) membunuh jiwa (qisas), dan (3) keluar dari Islam (murtad)
yang memisahkan diri dari jama'ah (jama'ah muslimin)." (HR. Abu Daud :
3788)
[23] Ibid,
hlm. 200
0 comments:
Post a Comment