Agama dalam Perspektif Sosiologi
Oleh : Trisna Nurdiaman
Secara etimologi, kata agama berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “a”
yang berarti tidak dan “gama” yang berarti kacau. Jadi secara harfiah
agama dapat diartikan sebagai “ketidakkacauan”. Menurut Johnstone[1] agama
adalah sistem keyakinan dan praktek sebagai sarana bagi sekelompok orang untuk
menafsirkan dan menanggapi apa yang mereka rasakan sebagai pengada adikodrati
(supranatural) dan kudus. Sementara itu Anthony F.C. Wallace mendefinisikan
agama sebagai seperangkat upacara yang diberi rasionalisasi mitos, yang
menggerakan kekuatan-kekuatan supernatural untuk mencapai dan menghindarkan
perubahan kepada manusia dan alam.[2]
Agama merupakan sebuah sistem kepercayaan
manusia terhadap kekuatan adikodrati yang tersusun secara sistematis dalam
doktrin-doktrin dan dogma-dogma. Nilai dan norma yang terkandung di dalamnya
sosialisasikan dan internalisasikan kepada seluruh anggotanya. Dengan demikian,
penulis berpandangan bahwa agama merupakan seperangkan nilai dan norma yang
mengatur cara berpikir dan bertindak bagi pemeluknya, serta mengatur bagaimana
cara manusia berhubungan dengan Tuhan dan sesamanya.
Auguste Comte yang sering digadang-gadangkan
sebagai “bapak sosiologi” memandang agama sebagai satu tahapan evolusi sosial
yang menurutnya kemudian akan tergantikan oleh tahap metafisis dan tahap
positif. Dalam pandangannya mengenai tiga tahap evolusi masyarakat berdasarkan
alam pikirannya, Comte menjelaskan bahwa tahap teologis ini terbagi kedalam
tiga fase, yaitu fetichisme, politeisme dan monoteisme. Fetichisme merupakan
satu fase dimana masayarakat mencari
kekuatan alam serta benda-benda angkasa yang ia anggap memiliki kekuatan
segala-galanya.[3] Selanjutnya
pada tahap politeisme manusia mencari penjelasan mengenai makhluk-mahkluk tidak
nampak (supra natural) dan mempunyai beberapa tuhan. Fase terkahir adalah
monoteisme, dimana masyarakat menemukan penjelasan bagi segala sesuatu pada
Tuhan yang satu. Fase ini dianggap mengisyaratkan surutnya stadium teologis
dalam masarakat.
Emile Durkheim[4] dalam
bukunya The Elementary Forms of Religious Life (1912) menyimpulkan hasil
studinya terhadap masyarakat primitif di Australia bahwa tujuan utama agama
pada masyarakat tersebut adalah untuk mengembangkan rasa paguyuban (sense of
community) melalui ritual-ritual keagamaan. Artinya fungsi agama dalam hal
ini bukan hanya sebagai sarana manusia berkontak dengan tuhannya, melainkan
untuk berkontak dengan sesamanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
Durkheim memandang agama sebagai kekuatan pemersatu dalam masyarakat.
Karl Marx memandang agama sebagai candu rakyat. Marx melihat agama sebagai
kesadaran palsu bagi masyarakat yang mengiming-imingi merekan dengan cita-cita
yang tidak mungkin tercapai seperti ‘kebahagiaan di surga’. Dalam pandangan
Marx, agama sebagai ideologi berfungsi sebagai seperangkat sanksi moral,
khayal, penghibur atas kondisi ketidakadilan, penyelubung kenyataan dan
pembenar ketidaksetaraan.[5] Agama melegitimasi adanya ketidaksetaraan, eksploitasi
kelas dan membelokan perjuangan kelas. Jadi secara eksplisit Marx memandang
bahwa arah agama ditentukan oleh kekuatan ekonomi.
Berbeda halnya dengan Marx, Max Weber dalam bukunya The Protestan Ethic
and Spirit of Capitalism memandang agama sebagai penentu kekuatan ekonomi. Menurutnya
bukan kekuatan ekonomi, tetapi justeru agamalah yang menentukan kekuatan
ekonomi. Weber melihat kesuksesan yang diraih oleh kalangan umat protestan pada
saat itu didorong oleh nilai-nilai agama protestan yang berorientasi pada jiwa
kewirausahaan, kerja keras, hemat dan mempunyai etos kerja yang tinggi. Dalam
agama protestan dikenal konsep predistinasi yang berpandangan bahwa tanda-tanda
seseorang akan masuk surga sudah terlihat di dunia melalui keberkahan yang
diberikan oleh Tuhan seperti kekayaan dan kesuksesan. Ajaran tersebut mendorong
mereka untuk selalu berusaha mendapatkan kesuksesan dan keberkahan Tuhan melaui
kerja keras dan etos kerja yang tinggi.
[1] Paul B.
Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi, Terjemahan Aminudin Ram dan Tita
Sobari, Jakarta: Erlangga, ______ , hlm. 304
[2] Beni Ahmad
Saebani, Pengantar Antropologi. Bandung: Pustaka Setia. 2012, hlm. 239
[3] Imam B
Jauhari, Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012, hlm. 106
[4] Paul B.
Horton & Chester L. Hunt, Sosiologi. Terjemahan Aminudin Ram dan
Tita Sobari, Jakarta: Erlangga, ______ , hlm. 306
[5] Dede
Mulyanto, Antropologi Marx, Bandung: Ultimus. 2011, hlm. 149
0 comments:
Post a Comment