Tuesday, 31 March 2015

Konsep Dasar dalam Sosiologi




Setiap bidang ilmu pengetahuan memerlukan konsepkonsepnya tersendiri agar dapat menciptakan dan membentuk suatu referensi atau acuan yang dijadikan sebagai alat penelitian, analisis, dan perbandingan hasil-hasil penelitiannya. Kesalahan dalam penggunaan konsep dapat menimbulkan kerancuan dan salah pengertian. Konsep ialah kata, atau istilah ilmiah yang menyatakan suatu ide atau pikiran umum tentang sifat-sifat suatu benda, peristiwa, gejala, atau istilah yang mengemukakan tentang hubungan antara satu gejala dan gejala lainnya. Dari beberapa definisi sosiologi yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat beberapa istilah ilmiah atau konsep dasar yang sering digunakan dalam sosiologi, yaitu sebagai berikut.
·         Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah sosial (norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok serta lapisan sosial;
·         Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama, misalnya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan ekonomi dan segi kehidupan politik, antara segi kehidupan hukum dan segi kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dan segi kehidupan ekonomi, serta yang lainnya. Salah satu proses sosial yang bersifat tersendiri ialah dalam hal terjadinya perubahan-perubahan dalam struktur sosial;
·         Perubahan sosial adalah perubahan yang mencakup seluruh lapisan dalam struktur sosial dan jalinan hubungan dalam masyarakat;
·         Organisasi sosial adalah aspek kerja sama yang mendasar, yang menggerakkan tingkah laku para individu pada tujuan sosial dan ekonomi tertentu;
·         Institusi sosial adalah suatu sistem yang menunjukkan bahwa peranan sosial dan norma-norma saling berkaitan dan telah disusun guna memuaskan suatu kehendak atau fungsi sosial





Monday, 30 March 2015

Karakteristik dan Hakikat Sosiologi



Sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan memiliki karakteristik yang meliputi :
a)      Empiris, artinya ilmu pengetahuan tersebut didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif;
b)      Teoretis, artinya suatu ilmu pengetahuan yang selalu berusaha untuk menyusun abstraksi dari hasil-hasil pengamatan. Abstraksi tersebut merupakan kesimpulan logis yang bertujuan menjelaskan hubungan sebab akibat sehingga menjadi teori;
c)       Komulatif, artinya disusun atas dasar teori-teori yang sudah ada atau memperbaiki, memperluas, serta memperkuat teori-teori yang lama;
d)      No etis, artinya pembahasan suatu masalah tidak mempersoalkan buruk atau baik masalah tersebut, tetapi lebih bertujuan untuk menjelaskan masalah tersebut secara mendalam.
Hakikat sosiologi sebagai ilmu pengetahuan antara lain sebagai berikut:
1)      Sosiologi adalah ilmu sosial, hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa sosiologi mempelajari atau berhubungan dengan gejala-gejala kemasyarakatan;
2)      Dalam sosiologi objek yang dipelajari dibatasi pada apa yang terjadi sekarang dan bukan apa yang seharusnya terjadi pada saat ini. Oleh karena itu, sosiologi disebut pula ilmu pengetahuan normatif;
3)      Dilihat dari segi penerapannya, sosiologi dapat digolongkan ke dalam ilmu pengetahuan murni (pure science) dan dapat pula menjadi ilmu terapan (applied science);
4)       Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang abstrak dan bukan pengetahuan yang konkret. Artinya, yang menjadi perhatian adalah bentuk dan pola-pola peristiwa dalam masyarakat secara menyeluruh, bukan hanya peristiwa itu sendiri;
5)      Sosiologi bertujuan untuk menghasilkan pengertian-pengertian dan pola-pola umum manusia dan masyarakatnya. Sosiologi meneliti dan mencari apa yang menjadi prinsip dan hukum-hukum umum dari interaksi manusia serta sifat, bentuk, isi dan struktur masyarakat;

6)      Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang umum, bukan khusus, artinya sosiologi mempelajari gejala-gejala umum yang ada pada interaksi antarmanusia.

Sunday, 29 March 2015

Pengertian Sosiologi


Secara etimologi, kata sosiologi berasal dari bahasa latin “socius” yang berarti kawan atau teman dan bahasa Yunani “logos” yang berarti ilmu atau cara. Jadi secara harfiah, sosiologi adalah ilmu tentang cara manusia berkawan. Berikut beberapa definisi sosiologi menurut para ahli :
1.      Roucek dan Warren :Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan kelompok-kelompok.”
2.      William F. Orgburn dan Meyer F. Nimkoff , “Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial”.
3.      J.A.A. Van Doorn dan C.J. Lammers,Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil”.
4.      Pitirim A. Sorokin,Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hal-hal sebagai berikut:
a)       Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial. Misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, dan gerak masyarakat dengan politik.
b)      Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala nonsosial. Misalnya gejala geografis dan gejala biologis. Ciri-ciri umum daripada semua jenis gejala-gejala sosial.

5.      Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, “Sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.” Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial serta lapisan-lapisan sosial. Proses sosial, yaitu pengaruh timbal balik berbagai segi kehidupan bersama.

Friday, 27 March 2015

Film Capitalism A Love Story


Capitalism: A Love Story adalah film dokumenter Amerika 2009 disutradarai, ditulis oleh dan dibintangi Michael Moore. mencertakan tentang sisi lain dunia ekonomi Amerika Serikat sebagai negara Kepitalisme terkokoh di dunia.


Tuesday, 24 March 2015

Manusia dan Kebohongan



Manusia adalah makhluk yang menyukai kebohongan. Pada suatu kasus tertentu kebohongan sering dipersepsikan sebagai sesuatu hal yang tidak baik, tetapi pada kasus yang lain masyarakat malah memuja-muja kebohongan itu sendiri. Kita dapat menemui banyak kebohongan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya seperti : cerita dongeng, film, novel, cerpen, lagu dan lain sebagainya. Manusia selalu memasukan unsur kebohongan sebagai pelengkap kehidupannya.
Manusia itu tidak selamanya rasional, bahkan manusia modern sekalipun. Pada kenyataannya manusia modern lebih banyak menyukai kebohongan dibanding manusia primitif. Masyarakat modern membuat banyak kebohongan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka bahkan mengkonstruksikan kebohongan tersebut sebagai sesuatu yang harus diinginkan. Seperti halnya film, Padahal kebanyakan isi dari film tersebut mengandung unsur kebohongan.  
Kebohongan merupakan suatu bentuk pelarian manusia dari realitas sosial yang tidak mampu mengakomodir semua keinginan manusia. Keinginan manusia tersebut terus terakumulasi dalam diri manusia hingga akhirnya membenetuk dunia khayal. Sekumpulan keinginan yang tidak tersalurkan dalam realitas sosial tersebut menjadi beban tersendiri bagi jiwa manusia. Dengan demikian, kebohongan mampu mengakomodir segala sesuatu yang tidak bisa didapatkan manusia dalam realitas sosial. Oleh karena itu, manusia mewujudkan keinginanya dalam dalam dunia khayalan yang tidak terbatas.

Sejak zaman dahulu, manusia memenuhi tuntutan ketidakpuasan dan kekecewaan pada realitas sosial serta mengendalikan emosi mereka dengan cara mempercayai dan menyembah ‘sesuatu’ yang dianggap memiliki kekuatan yang tidak terbatas seperti Dewa-dewa atau Tuhan. Dengan mempercayai Dewa, manusia dapat mengurangi rasa takutnya dari kekejaman realitas sosial. Sistem kepercayaan terhadap Tuhan atau Dewa-dewa tersebut sering juga disebut dengan agama. Anthony F.C. Wallace mendefinisikan agama sebagai seperangkat upacara yang diberi rasionalisasi mitos, yang menggerakan kekuatan-kekuatan supernatural untuk mencapai dan menghindarkan perubahan keadaan kepada manusia atau alam (Beni Ahmad Saebani, 2012 : 239). Artinya funsi utama agama ialah untuk mengurangi kegelisahan dan memantapkan kepercayaan kepada diri sendiri, dan memeilihara keadaan manusia agar siap menghadapi realitas.

Saturday, 21 March 2015

Fiksi Ilmiah : Ideologi dalam Tinjauan Sosial Imajinatif




Oleh : Trisna Nurdiaman

Ideologi adalah sebuah kerangka berpikir bersama dari sekelompok orang yang memiliki kesamaan pemikiran dan perasaan yang dijadikan sebagai landasan dalam menentukan arah dan tujuan hidup. Ideologi lahir sebagai akibat dari adanya ketidakpuasan terhadap relitas sosial yang tidak sesuai dengan keinginan dan harapan. Ideologi merupakan sebuah alat untuk melakukan rekayasa sosial dalam masyarakat demi terciptanya suatu kondisi dimana kebutuhan dan keinginan dapat terpenuhi dengan baik. Proses rekayasa sosial tersebut meliputi : 1) perumusan arah dan tujuan hidup bersama; 2) mengkonstruksikan arah dan tujuan hidup tersebut sebagai suatu keinginan dan kebutuhan dalam masyarakat; 3) memanifestasikan rumusan tersebut kedalam tindakan dan tingkah laku masyarakat yang berpola.
Ideologi merupakan sebuah mekanisme dari ekosistem sosial yang mengatur populasi manusia di bumi. Sejarah adalah saksi bagaimana manusia lebih mementingkan sebuah ideologi dari pada spesiesnya. Jutaan nyawa manusia melayang hanya demi untuk mempertahankan sebuah ideologi. Artinya, nilai dari sebuah ideologi lebih berharga dibanding dengan nyawa manusia itu sendiri sebagai pencipta dari ideologi tersebut. Hal tersebut adalah sebuah gambaran bagaimana ideologi-ideologi tersebut mengatur populasi manusia melalui mekanisme peperangan. Pada dasarnya manusia tidak menyukai peperangan, akan tetapi demi sebuah rumusan dari tujuan hidup bersama yang sudah terinternalisasi menjadi sebuah keinginan dan kebutuhan dalam diri mereka, “hidup itu tidaklah terlalu penting apabila realitas sosial masih tidak sesuai dengan cita-cita telah mereka gagas”
Manusia adalah parasit yang menggerogoti dan merusak ekosistem dari alam. Populasi manusia terus berkembang dengan pesat di planet yang bernama “Bumi” ini. Manusia menjadi makhluk superior yang tidak terkalah oleh makhluk lainnya. Tidak ada satupun predator yang mampu mengendalikan populasi manusia karena kehebatan akalnya. Manusia melihat binatang pemakan daging sebagai makhluk yang buas, padahal manusia sendiri adalah makhluk yang paling buas di dunia ini. Manusia adalah makhluk omnivora yang memakan apa saja yang dapat mereka makan. Sehingga pantaslah jika dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang paling rakus. Oleh karena itu, ideologi secara disadari telah tampil sebagai mekanisme ekosistem sosial yang mengendalikan populasi manusia.
Pada zaman dahulu, manusia melahirkan banyak anak. Hal tersebut sah-sah saja karena melalui mekanisme perang, populasi manusia akan tetap terkendali. Pada zaman sekarang, peperangan mulai dihindari, namun manusia tetap mengembangkan mesin-mesin perang yang lebih canggih. Mesin-mesi tersebut seperti bom nuklir akan sangat berguna bagi pengurangan populasi manusia secara masal dan dilakukan dalam jumlah besar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa alam semesta ini tidak menciptakan makhluk predator yang menempati rantai makanan diatas manusia, melainkan alam menjadikan manusia sebagai predator atas spesies mereka sendiri.



Friday, 20 March 2015

Teori Lingkaran Sosial




Oleh : Trisna Nurdiaman

·         Lingkaran Sosial adalah kesatuan relasi sosial yang dibuat oleh setiap manusia dimana ia menjadi aktor pembentuk dan pusat dari kesatuan lingkaran relasi sosial tersebut.
·         Besar-kecilnya suatu lingkaran sosial sosial tidak di pengaruhi oleh lingkungan geografis (desa atau kota) dimana si aktor, melainkan bergantung pada kemampuan aktor dalam menjalin dan memelihara hubungannya dengan individu yang lain.
·         Faktor yang mempengaruhi lingkaran sosial adalah : sifat, kondisi dan sumberdaya (capital dan skill).
·         Setiap individu mempunyai skill dan kesempatan yang berbeda dalam membentuk lingkaran sosialnya.
·         Lingkaran yang paling dekat dengan titik pusat menandakan tingginya nilai solidaritas antara si aktor dengan orang-orang yang berada dilingkungan terdekatnya.
·         Semakin dekat garis lingkaran dengan titik pusatnya, maka semakin kecil lingkaran tersebut. Hal tersebut menandakan bahwa semakin kuat solidaritas sosialnya maka semakin sedikit jumlah orang yang berada dilingkungan tersebut.
·         Lingkaran yang paling jauh dengan titik pusat menandakan lemahnya ikatan solidaritas yang dimiliki antara aktor dengan orang-orang yang berada di lingkaran terjauhnya.
·         Semakin jauh garis lingkaran dengan titik pusatnya, maka semakin besar lingkaran tersebut. Hal tersebut menandakan bahwa semakin lemah solidaritas sosialnya maka semakin besar jumlah orang yang berada dilingkungan tersebut.
·         Tinggi rendahnya solidaritas aktor dengan lingkaran sosialnya menandakan kuat atau tidaknya proses pengaruh-mempengaruhi diantara keduanya.

Selama ini, orang-orang selalu beranggapan bahwa karakateristik solidaritas sosial masyarakat desa bersifat paguyuban, sementara orang kota bersifat sebaliknya (patembayan). Namun pada kenyataannya, baik orang kota maupun orang desa sebenarnya mereka sama memiliki lingkaran sosial yang menunjukan karakteristik paguyuban dan lingkaran sosial yang memiliki karakteristik patembayan. Hanya saja yang menjadi pembeda diantara keduanya adalah jumlah orang yang berada dilingkungannya.
Pada umunya di desa, jumlah penduduknya relatif sedikit sehingga hampir semua orang yang berada diwilayah tersebut termasuk kedalam lingkaran sosial si aktor. Sementara jumlah penduduk di kota relatif sangat banyak, sehingga tidak semua orang-orang yang berada di kota tersebut termasuk kedalam lingkungannya.

Memang bukan suatu hal aneh bila kita mengamati masyarakat kota yang kadang-kadang tidak pernah kenal dengan tetangganya sendiri. Namun fakta tersebut tidak bisa disimpulkan bahwa orang tersebut tidak mempunyau lingkaran sosial paguyuban dalam hidupnya. Lingkaran sosial dibentuk oleh adanya proses interaksi, oleh karena itu memang pada satu sisi orang tersebut mungkin tidak guyub dengan tetangganya, tapi disisi lain bisa saja orang tersebut guyub dengan teman kerjanya, teman sekolahnya atau orang-orang lainnya yang sering berinterkasi dengannya.

Tuesday, 17 March 2015

Definisi dan Ruang Lingkup Sosiologi Organisasi

Definisi dan Ruang Lingkup Sosiologi Organisasi
Oleh : Trisna Nurdiaman

Sosiologi organisasi adalah suatu disiplin ilmu yang mengkaji fenomena organisasi yang meliputi : perubahan, dinamika sosial (perkembangan, kemunduran dan kehancuran), konflik, sistem, perilaku, manajemen, kepentingan serta regenerasi dalam organisasi. Kajian dalam sosiologi organisasi melingkupi : rumusan dan batas-batas operasional organisasi, tujuan yang telah disepakati bersama; dinamika keorganisasian; identitas organisasi, serta formal membership yang mencakup bahasan status dan peran.
Menurut Schein, organisasi adalaha suatu koordinasi rasional kegiatan sejumlah orang untuk mencapai beberapa tujuan umum melalui pembagian kerja (job description) dan fungsi (function) melalui hierarki otoritas dan tanggung jawab. Sementara itu Kochler mendefinisikan organisasi sebagai sistem hubungan yang terstruktur yang mengkoordinasikan usaha suatu kelompok untuk mencapai tujuan tertentu.
Definisi yang hampir serupa juga dikemukakan oleh Wright, ia mendefinisikan organisasi sebagai bentuk sistem terbuka dari aktivitas yang dikoordiansikan oleh dua orang atau lebih untuk mencapai suatu tujuan bersama. Berdasarkan dari sejumlah definisi organisasi tersebut maka penulis mengasumsikan bahwa “organiasi adalah sekelompok orang yang melakukan aktivitas terkoordinasi dalam suatu sistem sesuai dengan status dan peran masing-masing dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan bersama.”
Proses terbentuknya organisasi pada awalnya disebabkan oleh adanya desakan minat dan kepentingan-kepentingan individu untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya dalam masyarakat. Kebutuhan dan keinginan tersebut tidak mungkin dapat terpenuhi secara maksimal tanpa melakukan kerja sama dengan orang lain. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan tersebut maka dibentuklah sebuah persekutuan untuk mencapai tujuan yang telah disepakati melalui aktivitas-aktivitas terkoordinasi sesuai dengan status dan peranan masing-masing. Untuk menjaga keteraturan dalam menjalankan aktivitas tersebut maka dibuatlah pranata-pranata sosial yang mengatur cara berpikir dan bertindak bagi para anggotanya.
Jenis-jenis organisasi meliputi oraganisasi masyarakat, organisasi sekolah, organisasi militer, organisasi sipil dan Lembaga Swadaya Masyarakat (seperti ICW, WHO dan lain-lain). Setiap organisasi memiliki karakteristik tertentu sesuai dengan struktur dan tujuan dari organisasi yang bersangkutan. Oleh karena itu organisasi dapat juga dikatakan sebagai suatu rangkaian pelapisan terstruktur hubungan antar manusia yang saling ketergantungan.

Monday, 16 March 2015

Kebutuhan dan Keinginan sebagai Sesuatu yang Fundamental

Kebutuhan dan Keinginan sebagai Sesuatu yang Fundamental
Oleh : Trisna Nurdiaman



Sebagaimana pandangan utilitarianisme yang melihat manusia sebagai makhluk yang selalu berusaha untuk meraih kebahagiaan dan menjauhi penderitaan, maka manusia tidak akan pernah terlepas dari yang namanya “kebutuhan dan keinginan”. Tindakan sosial yang dilakukan manusia pada hakikatnya adalah sebuah upaya untuk memenuhi segala sesuatu yang telah ia persepsikan sebagai suatu kebutuhan atau keinginan.
Kebutuhan dan keinginan merupakan sesuatu yang riil dalam masyarakat. Kebutuhan adalah segala sesuatu yang apabila tidak dipenuhi akan mengganggu kelangsungan hidup manusia yang bersangkutan. Sementara keinginan adalah segala sesuatu yang apabila tidak dipenuhi tidak akan menggangu kelangsungan hidup dari individu yang bersangkutan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebutuhan itu bersifat memaksa, sementara keinginan itu bersifat suka rela atau atas kemauan sendiri.
Pada hakikatnya, manusia dan hewan sama-sama mempunyai kebutuhan dan keinginan. Namun yang membedakan diantara keduanya adalah “bagaimana cara mereka memenuhi kebutuhan dan keinginannya?”. Baik manusia atau pun hewan sebenarnya sama-sama terdiri dari dua unsur pembentuk eksistensinya, yaitu biologis dan psikologis. Meskipun terdiri dari unsur yang sama, tetapi keduanya memiliki kualitas diri (self quality) yang berbeda. Kebutuhan dan keinginan sendiri merupakan sebuah konsekuensi logis dari adanya dua unsur pembentuk eksistensi manusia tersebut dimana unsur biologis dan psikologis merupakan objek dari pemenuhan kebutuhan dan keinginan.
Selama manusia hidup, maka ia tidak akan pernah bisa berhenti untuk membutuhkan dan menginginkan. Bahkan ketika kebutuhan dan keinginannya sudah bisa terpenuhi secara berkesinambungan, manusia akan membuat kebutuhan dan keinginan baru. Manusia adalah makhluk yang serakah. Kebutuhan dan keinginannya bersifat tidak terbatas, sementara alat pemuas kebutuhan ataua sumberdaya yang tersedia itu terbatas. Oleh karena itu, dalam rangka untuk memaksimalkan sumberdaya yang terbatas tersebut, manusia dituntut untuk saling berkerjasama dan berinteraksi satu sama lain. Dengan adanya hal tersebut maka terciptalah aspek ketiga manusia, yaitu aspek sosiologis. Jadi kesimpulannya manusia terdiri dari tiga aspek yang saling saling terkait satu sama lainnya, yaitu aspek biologis, psikologis dan sosiologis.

Aspek sosiologis merupakan kesatuan realitas dari proses interaksi antar manusia untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya yang lama-kelamaan menghasilkan suatu pola-pola kultural diantara mereka. Pola-pola kultural tersebut sering juga disebut dengan istilah struktur sosial yang terdiri dari seperangkat nilai dan norma sosial yang mengatur hubungan antar manusia dalam berkelompok. Pola-pola kultural tercipta karena adanya kesadaran yang disepakati bersama akan pentingnya membatasi upaya-upaya apa saja yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan tersebut, sehingga terciptalah sebuah keteraturan.

Agama dalam Sudut Perspektif Sosiologi

Agama dalam Perspektif Sosiologi
Oleh : Trisna Nurdiaman




Secara etimologi, kata agama berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “a” yang berarti tidak dan “gama” yang berarti kacau. Jadi secara harfiah agama dapat diartikan sebagai “ketidakkacauan”. Menurut Johnstone[1]  agama adalah sistem keyakinan dan praktek sebagai sarana bagi sekelompok orang untuk menafsirkan dan menanggapi apa yang mereka rasakan sebagai pengada adikodrati (supranatural) dan kudus. Sementara itu Anthony F.C. Wallace mendefinisikan agama sebagai seperangkat upacara yang diberi rasionalisasi mitos, yang menggerakan kekuatan-kekuatan supernatural untuk mencapai dan menghindarkan perubahan kepada manusia dan alam.[2]
Agama merupakan sebuah sistem kepercayaan manusia terhadap kekuatan adikodrati yang tersusun secara sistematis dalam doktrin-doktrin dan dogma-dogma. Nilai dan norma yang terkandung di dalamnya sosialisasikan dan internalisasikan kepada seluruh anggotanya. Dengan demikian, penulis berpandangan bahwa agama merupakan seperangkan nilai dan norma yang mengatur cara berpikir dan bertindak bagi pemeluknya, serta mengatur bagaimana cara manusia berhubungan dengan Tuhan dan sesamanya.
Auguste Comte yang sering digadang-gadangkan sebagai “bapak sosiologi” memandang agama sebagai satu tahapan evolusi sosial yang menurutnya kemudian akan tergantikan oleh tahap metafisis dan tahap positif. Dalam pandangannya mengenai tiga tahap evolusi masyarakat berdasarkan alam pikirannya, Comte menjelaskan bahwa tahap teologis ini terbagi kedalam tiga fase, yaitu fetichisme, politeisme dan monoteisme. Fetichisme merupakan satu fase dimana  masayarakat mencari kekuatan alam serta benda-benda angkasa yang ia anggap memiliki kekuatan segala-galanya.[3] Selanjutnya pada tahap politeisme manusia mencari penjelasan mengenai makhluk-mahkluk tidak nampak (supra natural) dan mempunyai beberapa tuhan. Fase terkahir adalah monoteisme, dimana masyarakat menemukan penjelasan bagi segala sesuatu pada Tuhan yang satu. Fase ini dianggap mengisyaratkan surutnya stadium teologis dalam masarakat.
Emile Durkheim[4] dalam bukunya The Elementary Forms of Religious Life (1912) menyimpulkan hasil studinya terhadap masyarakat primitif di Australia bahwa tujuan utama agama pada masyarakat tersebut adalah untuk mengembangkan rasa paguyuban (sense of community) melalui ritual-ritual keagamaan. Artinya fungsi agama dalam hal ini bukan hanya sebagai sarana manusia berkontak dengan tuhannya, melainkan untuk berkontak dengan sesamanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Durkheim memandang agama sebagai kekuatan pemersatu dalam masyarakat.
Karl Marx memandang agama sebagai candu rakyat. Marx melihat agama sebagai kesadaran palsu bagi masyarakat yang mengiming-imingi merekan dengan cita-cita yang tidak mungkin tercapai seperti ‘kebahagiaan di surga’. Dalam pandangan Marx, agama sebagai ideologi berfungsi sebagai seperangkat sanksi moral, khayal, penghibur atas kondisi ketidakadilan, penyelubung kenyataan dan pembenar ketidaksetaraan.[5] Agama melegitimasi adanya ketidaksetaraan, eksploitasi kelas dan membelokan perjuangan kelas. Jadi secara eksplisit Marx memandang bahwa arah agama ditentukan oleh kekuatan ekonomi.
Berbeda halnya dengan Marx, Max Weber dalam bukunya The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism memandang agama sebagai penentu kekuatan ekonomi. Menurutnya bukan kekuatan ekonomi, tetapi justeru agamalah yang menentukan kekuatan ekonomi. Weber melihat kesuksesan yang diraih oleh kalangan umat protestan pada saat itu didorong oleh nilai-nilai agama protestan yang berorientasi pada jiwa kewirausahaan, kerja keras, hemat dan mempunyai etos kerja yang tinggi. Dalam agama protestan dikenal konsep predistinasi yang berpandangan bahwa tanda-tanda seseorang akan masuk surga sudah terlihat di dunia melalui keberkahan yang diberikan oleh Tuhan seperti kekayaan dan kesuksesan. Ajaran tersebut mendorong mereka untuk selalu berusaha mendapatkan kesuksesan dan keberkahan Tuhan melaui kerja keras dan etos kerja yang tinggi.





[1] Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi, Terjemahan Aminudin Ram dan Tita Sobari, Jakarta: Erlangga, ______ , hlm. 304
[2] Beni Ahmad Saebani, Pengantar Antropologi. Bandung: Pustaka Setia. 2012, hlm. 239
[3] Imam B Jauhari, Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012, hlm. 106
[4] Paul B. Horton & Chester L. Hunt, Sosiologi. Terjemahan Aminudin Ram dan Tita Sobari, Jakarta: Erlangga, ______ , hlm. 306
[5] Dede Mulyanto, Antropologi Marx, Bandung: Ultimus. 2011, hlm. 149

Sunday, 15 March 2015

Konsep Subjektivisme dan Objektivisme




Secara garis besar teori sosiologi dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu teori objektivis dan teori subjektivis. Keduanya sama-sama merupakan cabang filsafat yang membicarakan suatu fenomena sosial. Namun, keduanya memiliki sudat pandang dan ranah kajian yang berbeda. Perbedaan tersebut sering kali dikonsepsikan sebagai suatu pertentangan sehingga tak jarang para penganut masing-masing aliran saling serang terhadap aliran yang lain.
Objektivisme berpandangan bahwa suatu tindakan sosial itu sepenuhnya dipengaruhi oleh struktur sosial yang ada dilingkungan individu yang bersangkutan. Dalam buku Sosilogi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda karya George Ritzer, obejektivisme merujuk pada paradigma fakta sosial. Pemuka eksemplar dari paradigma ini adalah Emile Durkheim. Dalam bukunya The Rule of Sociological Method Durkheim menekankan bahwa tugas sosiologi adalah mempelajari dengan apa yang ia sebut fakta-fakta sosial sebagai kekuatan (forces) dan struktur yang bersifat eksternal dan memaksa individu.[1] Paradigma ini memusatkan kajiannya pada fakta-fakta sosial. Fakta sosial tidak dapat dipahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif), tetapi untuk memahaminya diperlukan penyusunan data riil diluar pemikiran manusia.[2]
Subjektivisme memandang bahwa aktor memiliki kuasa penuh dalam melakukan tindakan sosialnya. Subjektivisme mengkritik objektivisme yang memandang individu sebagai aktor pasif yang bertindak atas paksaan struktur sosial saja. Subjektivisme mengacu pada paradigma definisi sosial. Pemuka eksempar paradigma ini adalah Max Weber. Menurut Weber mempelajari suatu pranata secara khusus

A.    Konsep Penghubung Objektivisme dan Subjektivisme
Pertikaian antara para penganut objektivisme dan subjektivisme telah menimbulkan beberapa dampak negatif bagi perkembangan sosiologi. Akibatnya, timbulah usaha-usaha yang dilakukan oleh beberapa sosiolog untuk menyatukan pandangan tersebut.
1.      Pierre Bourdieu
Dalam upayanya untuk menyatukan kedua pandangan yang bertentangan tersebut, Bourdieu memperkenalakan beberapa konsep yang menjadi acuannya, yaitu: habitus, modal (capital), arena dan praktik.

2.      George Ritzer
Lain halnya dengan apa yang telah dilakukan oleh Bourdieu, George Ritzer memperkenalkan paradima terpadu sebagai konsepsi acuan yang menyatukan tiga paradigma utama dalam sosiologi, yaitu: fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial.



[1] George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2012. Teori Sosiologi Modern. Alimandan, Penerjemah. Jakarta: Kencana Preanada Media Group. Hlm. 21
[2] George Ritzer, 2014. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Alimandan, Penerjemah.  Jakarta: Rajawali Pers. Hlm. 14

Esensialisme Sosial




Manusia adalah makhluk yang rasional dan emosional. Mereka selalu terjebak dalam persepsi dan terbelenggu oleh hasrat-hasrat naluriah dalam dirinya. Kemampuan berpikir manusia yang lebih baik dibanding mahluk lainnya membuat manusia sombong. Tidak sedikit dari mereka yang melupakan hal yang paling esensial dalam diri mereka hanya demi menunjukan eksistensi sosialnya.