Friday, 1 May 2015

Makalah Tipologi Masyarakat Beragama

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Secara sederhana agama dapat definisikan sebagai suatu sistem kepercayaan dalam masyarakat terhadap kekuatan adikodrati (supranatural). Menurut Johnstone[1]  agama adalah sistem keyakinan dan praktek sebagai sarana bagi sekelompok orang untuk menafsirkan dan menanggapi apa yang mereka rasakan sebagai pengada adikodrati (supranatural) dan kudus. Sementara itu Anthony F.C. Wallace mendefinisikan agama sebagai seperangkat upacara yang diberi rasionalisasi mitos, yang menggerakan kekuatan-kekuatan supernatural untuk mencapai dan menghindarkan perubahan kepada manusia dan alam.[2]
Setiap tokoh ilmu sosial mempunyai definisi dan pandangan yang berbeda terhadap agama. Hal tersebut disebabkan karena adanya perbedaan tipologi masyarakat beragama yang mereka amati. Karl Marx memandang agama sebagai candu rakyat karena tipologi masyarakat beragama yang ia amati saat itu cenderung melegitimasi perbedaan kelas yang kemudian ia anggap sebagai “eksploitasi kelas”. Lain halnya dengan Marx, Weber justeru memandang agama sebagai penentu kekuatan ekonomi. Tipologi masyarakat protestan yang ia amati saat itu mempunyai jiwa kewirausaahaan dan etos kerja tinggi sebagai akibat dari adanya ajaran konsep predistinasi.
Berdasarkan paparan diatas, maka penulis tertarik untuk mendalami lebih jauh materi bahasan mengenai “Tipologi masyarakat beragama”.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa maksud dari tipologi masyarakat beragama?
2.      Bagaima tipologi masyarakat beragama?
3.      Bagaiamana tipologi masyarakat beragama dalam Islam?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk memahami maksud dari tipologi masyarakat beragama.
2.      Untuk mengetahui tipologi masyarakat dalam beragama.
3.      Untuk mengetahui bagaimana tipologi masyarakat beragama dalam Islam.
BAB II
TELAAH PUSTAKA

A.    Pengertian Tipologi Masyarakat Beragama
Secara etimologi, kata tipologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “typos” dan “logos” yang bearti ilmu pengelompokan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tipologi dartikan sebagai ilmu watak tentang bagian manusia dalam golongan-golongan menurut corak watak masing-masing. Dengan demikian, tiopologi dapat didefinsikan sebagai kajian suatu bidang ilmu dalam mendeskripsikan kelompok-kelompok yang didasarkan atas kesamaan karakter atau watak.
Sementara itu kata masyarakat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai sejumlah manusia dalam arti yang seluas-luasnya yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Maclver dan Page[3] mendefinisikan masyarakat sebagai suatu sistem dari kebiasaan dan tatacara dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Sementara Ralph Linton[4] mendefinikannya sebagai setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja besama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.
Agama secara etimologi berasal dari kata “a” yang berarti “tidak” dan “gamma” yang berarti “kacau”. Jadi secara bahasa agama dapat diartikan dengan keadaan “tidak kacau”. Feuerbach[5] mengatakan bahwa agama merupakan alat psikologi yang digunakan untuk menggantungkan harapan, kebaikan dan ideal-ideal yang kita rancang sendiri. Menurut E. B. Taylor dalam bikunya The Primitive Culture mengatakan bahwa adalah keyakinan tentang adanya makhluk spiritual.[6]
Menurut Johnstone[7]  agama adalah sistem keyakinan dan praktek sebagai sarana bagi sekelompok orang untuk menafsirkan dan menanggapi apa yang mereka rasakan sebagai pengada adikodrati (supranatural) dan kudus.

Berdasarkan paparan diatas, maka yang dimaksud dari tipologi masyarakat beragama adalah pengelompokan masyarakat beragama ke dalam jenis-jenis kelompok  yang didasarkan atas kesamaan corak, watak dan karakteristik tertentu yang menandainya.

B.     Tipologi Masyarat Beragama
Setiap masyarakat mempunyai karakteristik tersendiri dalam beragama. Hal tersebut disebabkan karena adanya perbedaan latar belakang budaya, konsep pemikiran dan dinamika sosial yang mempengaruhinya. Tipologi masyarakat beragama pada hakikatnya tidak bersifat absolut atau mutlak, tetapi bersifat relatif dan gradual. Karena sejatinya masyarakat itu bersifat dinamis dan selalu ada hubungan timbal balik atau proses saling mempengaruhi satu sama lain sehingga perbedaan antar tipologi masyarakat dalam beragama tersebut kadang tidak terlihat secara kontras.
Terdapat perbedaan pendapat dari para tokoh dalam menggolongkan tipologi masyarakat dalam beragama. Hal tersebut berkaitan dengan perbedaan sudut pandang, titik penentu dan kategori yang diajukan oleh tokoh tersebut. Berikut beberapa tipologi masyarakat beragama menurut para tokoh :
1.      Tipologi Masyarakat Beragama Berdasarkan Latar Sosial-Ekonomi Masyarakatnya
Menurut Elizabeth K. Notingham, terdapat tiga tipe umum masyarakat beragama, yaitu masyrarakat dengan nilai-nilai sakral yang kuat sekali, masyarakat dengan nilai-nilai sekuler dan masyarakat yang berada diantara keduanya. Banyak perbedaan kecil yang tidak mudah dilihat dalam tingkat sekulerisasi dan dalam cara mengorganisasikan masyarakat yang ada. Hal-hal tersebut tersebut tidak mungkin dilukiskan semuanya, namun hanya dapat digambarkan beberapa perbedaan tertentu yang bersifat umum.[8]
a.      Tipe Pertama : Masyarakat yang terbelakang dan Nilai-nilai Sakral.
Masyarakat tipe ini  biasanya terisolasi dan terbelakang, laju perubahan sosial masih lambat, spesialisasi pekerjaan dan pembidangan kelas-kelas sosial relatif kecil. Masyrakat ini biasanya menganut agama yang sama. Organisasi keagamaan tidak terpisah dengan lembaga-lembaga sosial yang lain. Segala sesuatu aktivitas kelompok baik bersifat sosial, ekonomi, politik dan kekeluargaan selalu disisipi oleh pranata-pranata sosial keagamaan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Malinowski pada penduduk pulau Trobiand, aktivitas yang mereka lakukan seperti mebuat perahu dan bercocok tanam dikebun yang pada hakikatnya bersifat ekonomi dan teknik selalu disertai oleh upacara-upacara magis dan keagamaan. Dengan kata lain, agama mengatur aktivitas masyarakat secara keseluruhan baik aktivitas sosial, ekonomi maupun politik.
Dalam masyarakat ini, agama berdiri tegak tanpa tandingan sebagai fokus pemersatu bagi pemolaan kepribadian individu-individu.[9] Agama memberikan bentuk keseluruhan proses sosialisasi yang ditandai oleh adanya ritual-ritual kegamaan pada setiap peristiwa yang dianggap penting seperti kelahiran, perkawinan, kematian dan peristiwa penting lainnya. Agama mempunyai pengaruh terhadap sistem nilai secara mutlak dan menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan.
b.      Tipe Kedua : Masyarakat Pra-Industri yang sedang Berkembang.
Masyarakat tipe ini begitu terisolasi, laju perubahannya lebih cepat, daerahnya lebih luas dan penduduknya relatif lebih banyak dibanding dengan masyarakat tipe pertama. Pada masyarakat ini, spesialisasi pekerjaanya lebih luas, masyarakat mulai terbagi kedalam kelas-kelas sosial yang lebih banyak, memiliki kemampuan baca tulis pada tingkat tertentu dan kehidupan sosial-ekonomi ditopang oleh aktivitas pertanian dan industri tangan.
Dalam masyarakat tipe ini, agama dan pemerintahan menjadi lembaga sosial yang sudah dianggap berbeda. Agama dan pemerintahan dijalankan oleh tenaga profesional yang berbeda. Namun meskipun organisasi keagamaan dan pemerintahan jelas berbeda satu sama lain, tetapi penguasa tetap cnederung menuntut status yang sakral. Misalnya, kaisar-kaisar suci bangsa Romawi di barat pada zaman pertengahan, mengukuhkan kekuasaan sakral mereka dengan percikan minyak wangi oleh para paus.[10]
c.       Tipe Ketiga : Masyarakat Industri-Sekuler
Masyarakat tipe ini sangat dinamik, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat termasuk salah satunya adalah agama. Lingkungan yang bersifat sekuler meluas terus menerus seringkali mengorbankan lingkungan yang sakral.[11] Masyarakat lebih mempercayai metode-metode empirik berdasarkan penalaran dan efisisensi dalam menanggapi berbagai masalah kemanusiaan. Kecenderungan sekulerisasi ini mempersempit ruang gerak kepercayaan-kepercayaan dan pengamalan-penagamalan keagamaan yang terbatas pada aspek-aspek yang bersifat kecil dan khusus. Kecenderungan sekulerisasi tersebut mendesak peranan agama pada waktu dan tempat yang terbatas. Ikatan agama dengan pemerintahan dibatasi dan diatur pada perturan khusus seperti halnya di Inggris.
Perbedaan-perbedaan agama dan sekulerisasi pada masyarakat industri melemahkan fungsi agama sebagai alat pemersatu. Salah satu ciri tersendiri pada masyarakat tipe ini adalah toleransi terhadap perbedaan agama yang dibangun oleh nilai-nilai sekuler seperti paham pluralisme. Nilai-nilai sekuler berkembang pada tataran ilmu pengetahuan, nasionalisme, ekonomi dan politik. Akan tetapi meskipun demikian, masyarakat masih mempercayai dan membenarkan nilai-nilai keagamaan sebagai landasan pembentukan karakter bagi anak sebagai individu baru dalam masyarakat tersebut.

2.      Tipologi Masyarakat Beragama Berdasarkan Pandangan Teologisnya
Tipologi tripolar merupakan sebuah pendekatan terhadap pandangan para teolog agama kristen terhadap agama-agama lain. Tipologi tripolar ini dipopulerkan oleh Alan Race untuk digunakan sebagai standar dalam studi teologi-teologi keagamaan. Berdasarkan hal tersebut, menurutnya ada tiga tipologi masyarakat beragama yaitu: eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme.
Eksklusivisme memandang bahwa keselamatan dan kebenaran hanya ada dalam agama kristen. Sementara agama-agama lain dianggap tidak benar dan tidak akan selamat di akhirat nanti. Oleh karena itu satunya cara untuk menyelamatkan orang lain yang berada diluar agamanya adalah dengan cara kristenisasi lewat misionaris atau dakwah kepada masyarakat lain yang dianggap kafir. Eksklusivisme merupakan karakteristik dari masyarakat kristen yang konservatif, terutama kalangan injil. Salah satu tokohnya adalah Karl Barth.
Berbeda halnya dengan Eksklusivisme, Inklusivisme memandang bahwa agama-agama lain pun yang berada di luar kristen berada dalam rahmat Allah dan bisa diselamatkan melalui jalan yang hanya ada dalam Yesus Kristus. Inklusivisme terbagi kedalam dua model, yaitu In spite of dan By Means of. In spite of melihat agama lain sebagai hambatan untuk menerima keselamatan, namun tidak menolak akan adanya kemungikinan orang yang berasal dari agama lain dapat dielamatkan oleh rahmat Allah. Sementara by means of merupakan pandangan positif terhadap agama lain dimana dalam agama lain pun mengajarkan kebaikan dan kebenaran yang pada hakikatnya sama-sama terorientasi pada kristus atau sering juga disebut “kristen anonim”.
Sementara itu pluralisme memandang bahwa Allah merupakan sesuatu yang nyata (The Real) yang dapat dikenali melalui berbagai jalan menuju pada satu, yang nyata, yaitu Allah. Mereka bahkan melihat Yesus Kristus sebagai salah satu dari jalan keselamatan diantara jalan-jalan keselamatan yang lain. Salah satu tokoh yang terkenal dalam aliran ini adalah John Hick. Ia mengatakan bahwa “Yang Nyata” sebenarnya adalah satu, namun dimaknai dalam berbagai simbol dan tradisi keagamaan yang berbeda.

3.      Tipologi Masyarakat Beragama Berdasarkan Sikapnya
Komarudin Hidayat dalam bukunya “Ragam Bergama” menyatakan bahwa terdapat lima tipologi sikap masyarakat dalam beragama yaitu: eksklusivisme, inklusivisme, pluralisme, elektivisme dan universalisme. Sebenarnya konsep ini diadopsi dari konsep “tipologi tripolar” yang dikemukakan oleh Alan Race. Namun tipologi tersebut diperbaiki dengan menambahkan tipologi elektivisme dan universalisme.
a.      eksklusivisme
Dalam konsep ini, eksklusivisme merupakan pandangan masyarakat dalam beragama bahwa ajaran agamanyalah yang paling benar. Sementara agama lain dianggap sesat dan harus dihilangkan sehingga pada akhirnya rentan menimbulkan konflik dengan pemeluk agama lain. Segala sesuatu pernyataan yang ada dalam ajaran agama tersebut adalah benar, sementara pernyataan lain yang berlawanan dari pernyataan tersebut dianggap salah. Seorang ahli ilmu perbandingan agama, Friedrich Heiler menyatakan bahwa secara tradisional, tradisi agama barat adalah eksklusif dalam sikap mereka terhadap agama-agama lain dengan memberikan kepada agama mereka sendiri validitas mutlak.
Pandangan eksklusivisme tersebut ada hampir pada setiap agama. Misalnya dalam agama kristen, dalil yang menguatkan pandangan mereka terdapat pada Yohanes bab 14 ayat 6: “Aku adalah jalan dan kebenaran hidup, tidak ada seoranng pun yang datang kepada Bapa kalau tidak melaluiku”. Sepertihalnya dalam Kristen, dalam agama Islam pun terdapat tipologi masyarakat yang berpandangan eksklusivisme. Pandangan eksklusivisme ini diperkuat oleh adanya dalil dari kitab suci Al-qur’an yang menyatakan bahwa:
1.      Sesunggunya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam” (QS. Ali Imran [3]: 19)
2.      Barang siapa yang mencari agama selain agama islam, maka sekali-kali tidaklah diterima (agama itu) daripadanya, dan diakhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imran [3]: 85)
Menurut Komarudin, sifat eksklusivisme yang memandang bahwa agamanyalah yang paling benar tersebut tidak sepenuhnya salah. Sikap eksklusivisme ini tidaklah berarti bahwa mereka tidak toleran terhadap agama lain, karena sesungguhnya tidak ada satupun agama yang membenarkan sikap tidak toleran. Tetapi yang dimaksud sikap eksklusif ini berkenaan dengan kualitas dan mutu ajaran agama yang didukung oleh bukti-bukti dan argumen yang kuat. Karena sesungguhnya setiap manusia mencari agama yang eksklusif. Namun meskipun begitu, sikap eksklusivisme ini tetap cenderung mempunyai fungsi laten akan munculnya sikap tidak toleran, konfik antar agama dan sikap tidak kritis.

b.      Inklusivisme
Tipologi masyarakat beragama tipe ini memandang bahwa setiap agama mempunyai nilai kebenaran, meskipun tidak sebenar agama yang dianutnya. Artinya mereka mempunyai sikap toleransi dalam pandangan teologisnya. Mereka memandang bahwa setiap agama mengajarkan kebenaran dan melarang kejahatan, namun esensi dari kesamaan ajaran tersebut dimanifestasikan dalam bentuk, istilah dan simbolisasi yang berbeda. Bahkan Nurcholis Majid menyatakan bahwa sikap inklusif adalah dengan memandang agama lain sebagai bentuk implisit agama kita.
Dalam Islam, tokoh yang berpandangan inklusivisme adalah Ibnu Taymiyah yang menggolongkan masyarakat beragama menjadi orang islam khusus (muslim) dan islam umum (non-muslim). Ia mengatakan bahwa semua nabi dan pengikutnya yang disebut oleh Allah adalah muslim. Kata islam sendiri berarti berarti “pasrah pada Tuhan”.  Islam inlkusif menafsirkan surat Ali Imran ayat 85  yang berbunyi “Barang siapa yang mencari agama selain agama islam, maka sekali-kali tidaklah diterima (agama itu) daripadanya, dan diakhirat termasuk orang-orang yang rugi” dengan tafsiran bahwa yang kata islam yang termaktub dalam ayat tersebut adalah peristilahan untuk orang-orang Arab. Para Nabi lain dan setiap menganutnya adalah muslim, namun mereka menggunakan istilah dari bahasa mereka masing-masing.
Sementara dalam agama kristen, salah tokohnya yang berpandangan inklusif adalah Karl Rehner. Dalam bukunya “The Theological Investigation” ia menyebut orang-orang yang beragama diluar Kristen dengan “The Anonymous Christian” yang berarti “kristen anonim”.

c.       Pluralisme
Pluralisme memandang bahwa semua agama itu adalah benar, namun setiap agama mempunyai cara tersendiri dalam menjalankan kebenaran dan memperoleh keselamatannya. Agama lain adalah jalan yang sama kesahannya dalam mencapai kebenaran yang sama. Pandangan ini berangkat dari realitas sosial bahwa dalam masyarakat terdapat pluralitas agama. Pluralitas agama ini dipandang sebagai suatu yang “nyata” dan bersifat sejajar atau paralel. Oleh karena itu mereka menganggap bahwa dakwah atau misionaris yang dilakukan terhadap pemeluk agama lain adalah tidak relevan.
Pluralisme merupakan sebuah cara dalam mendefinisikan diri di tengah-tengah agama lain. Paham pluralisme memandang bahwa agama selain berfungsi sebagai alat pemersatu sosial, tetapi disisi lain juga agama menjadi sumber konflik dengan agama yang lainnya. Dengan berkembangnya paham pluralisme agama, berkembanglah suatu paham toelogia religinum yang menekankan pentingnya berteologi dalam konteks agama.[12]

d.      elektivisme
Elektivisme dalah suatu sikap yang berusaha untuk mempertemukan dan menyeleksi berbagai ajaran dari semua agama. Ajaran-ajaran yang diambil tersebut diseleksi dengan cara memilih nilai-nilai yang dianggap baik dan sesuai dengan tuntutan zaman dan kepribadian masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, elektivisme merupakan sinkretisme agama yang memadukan berbagai ajaran-ajaran agama untuk mencapai kesesuaian dan keserasian. Sementara iti Clifford Geertz melihat sinkretisme agama sebagai satu sistem agama tersnediri yang telah menyerap unsur sistem-sistem agama lainnya sedemikian tupa sehingga unsur-unsur asing itu beserta dengan inti aslinya dianggap sebagai komponen dasar agama tersebut.[13]

e.       Universalisme
Uneversalisme memandang bahwa semua agama pada dasarnya adalah satu dan sama. Namun karena adanya faktor historis-antropologis agama tersebut kemudian tampil dalam bentuk yang berbeda. Artinya, universalisme memandang bahwa pada awalnya hanya ada satu agama, namun seiring dengan perkembangan sejarah dan kebudayaan manusia agama yang ada dalam tersebut hadir dalam bentuk yang berbeda. Meskipun begitu, pada hakikatnya perbedaan yang ada pada agama-agama tersebut adalah cara pengungkapannya saja yang berbeda, tapi apabila dilihat secara esensial semua agama tersebut sama.

C.    Studi tentang Tipologi Masyarakat Beragama di Indonesia
Secara garis besar, terdapat empat sistem kebudayaan dalam masyarakat Indonesia,[14] yaitu: (1) sistem budaya kelompok etnik pribumi, (2) sistem budaya agama-agama besar Indonesia, (3) sistem budaya Indonesia yang mengintegrasikan masyarakat secara total, serta (4) sistem budaya asing yang mempengaruhi pikiran, sikap dan tindakan sebagian penduduk. Ke-empat sistem tersebut terakulturasi dalam kepribadian masyarakat Indonesia. Akulturasi terjadi apabila dengan kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur kebudayaan asingyang berebeda sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu dengan lambat-laun diolah dan diterima kedalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.[15] Setiap sistem budaya mengendalikan pikiran, tindakan dan perasaan orang yang telah mengintegrasikannya. Pada saat ini orang-orang Indonesia telah menginternalisasikan tiga sistem budaya yang berbeda, yaitu sistem budaya etnik, sistem budaya agama dan sistem budaya nasional. Dalam sistuasi tertentu, antar sistem-sistem tersebut kadang tidak selaras satu sama lain, sehingga penganutnya harus memilih salah satunya. Realitas tersebut memeberikan pengaruh terhadap cara masyarakat Indonesia mengekspresikan ritual keagamaannya. Berikut suatu studi dari beberapa tokoh tentang tipologi perilaku beragama masyarakat di Indonesia:
1.      Clifford Geertz – Tipologi Beragama Masyarakat Jawa (Studi Kasus di Mojokuto)
Studi tentang karakteristik tipologi masyarakat beragama di Indonesia yang sangat terkenal adalah tesis Clifford Geertz tentang Religion of Java. Geert telah memetakan pemahaman dan kultur sebuah etnik dengan membanginya menjadi tiga peta wilayah kultural: priyayi, santri dan abangan.[16] Sebenarnya, Geertz melihat tipologi masyarakat beragama di Jawa sebagai satu sinkretik dimana tiga varian berbeda dapat diamati yang meliputi varian animisme (abangan), varian Hindu (priyayi) dan varian Islam (santri).[17] Kaum abangan lebih cenderung bersifat animisme yang sebenarnya merupakan akar budaya asli masyarakat Indonesia. Tradisi keagamaan abangan terdiri dari sejumlah pesta upacara atau yang sering disebut dengan slametan. Upacara-upacara yang terdiri dalam slametan tersebut terdiri dari upacara kelahiran, khitanan, perkawinan, kematian, dan tanggal-tanggal tertentu. Slametan merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia yang melambangkan kesatuan mistis dan sosial bagi mereka yang ikut di dalamnya.[18]
Kelompok abangan merujuk pada segolongan masyarakat muslim di Jawa yang mempraktikan agama Islam yang lebih sinkretis dan cenderung lebih mengikuti kepercayaan adat yang di dalamnya mengandung unsur tradisi hindu, Budha dan animisme. Kemudian istilah santri mengacu pada sekelompok orang yang mengamalkan ajaran agama sesuai dengan syariat Islam. Sementara sebutan priyayi mengacu pada sekelompok orang yang memiliki kelas sosial ekonomi lebih tinggi atau sering juga disebut dengan bangsawan.

2.      Imam B. Jauhari – Tipologi Masyarakat Islam di Indonesia
Meskipun sebenarnya Imam B. Jauhari dalam bukunya Teori Sosial (Proses Islamisai Ilmu Pengetahuam) tidak mengatakan secara eksplisit mengenai tipologi masyarakat Islam di Indonesia, namun dalam buku tersebut ia menerangkan bahwa terdapat tiga tipe masyarakat Islam sebagai realistas representatif dalam pandangannya mengenai Islam dan negara.[19]
Pertama, aliran yang menginginkan adanya hubungan formal antara Islam dan negara (fundamentalisme). Mereka menginginkan adanya penerapan Islam secara kaffah dan mereka juga memandang bahwa syari’at Islam itu bersifat absoluth sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasul sehingga tidak boleh dirubah. Kelompok ini menghendaki agar syariat Islam dijadikan sebagai landasan riil berbangsa dan bernegara. Target utama mereka adalah pencantuman kembali Piagam Jakarta dalam UUD 1945. Aliran ini muncul di Indonesia sejak tahun 1980-an, namun gerakan tersebut semakin masif setelah jatuhnya orde baru. Gerakan formalisasi syariat ini lahir sebagai reaksi atas konspirasi neo-kolonialisme Adikuasa dan Zionisme serta kebobrokan sistem politik dan ekonomi Indonesia saat ini yang pada hakikatnya adalah produk sekuler. Menurut kelompok ini, syari’ah mempunyai fungsi yang melingkupi lima hal pokok, yaitu : 1) menjamin kemerdekaan orang beragama; 2) menjamin kesucian keturunan; 3) melindungi akal; 4) mengayomi dan menjamin keselamatan manusia; 5) menjamin dan melindungi hak kebendaan manusia.
Kedua, aliran yang mengusung deformalisasi syariat (sekulerisme). Menurut mereka, syariat Islam harus dimaknai secara substantif dimana penerapan ajaran Islam sudah diterapkan secara individu, sehingga  tidak ada alasan yang kuat untuk melakukan formalisasi syariat Islam sebagai landasan bernegara. Kelompok ini menekankan adanya penafsiran ulang Al-Qur’an dan Hadits yang dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Gerakan reformalisasi syari’at ini sangat aktif dalam mengadakan kampanye tentang keharusan pemisahan yang jelas bagi hubungan antar agama dengan negara.[20] Menurut mereka negara tidak boleh mengintervensi kehidupan beragama, karena hal tersebut akan menambah persoalan yang akan mempersulit posisi masing-masing. Selan itu hal tersebut akan membuat paksaan-paksaan hukum dari satu pihak ke pihak yang lain sehingga berdampak pada kekakuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut paham sekulerisme ini, jika syariat diformalisasikan sebagai dasar negara, maka masyarakat non-muslim akan turun derajat menjadi kelas nomor dua, karena derajat orang-orang muslim dipandang lebih tinggi. hukum qisas tidak akan berlaku jika yang membunuh adalah warga muslim dan yang dibunuh adalah orang-orang kafir. Dalam buku Fikih Islam dikatakan bahwa “bagi orang Islam yang membunuh orang kafir tidak berlaku qisas.[21] Selain itu jaminan kebebasan beragama sebenarnya akan berkurang karena syariat Islam membolehkan adanya hukuman mati bagi orang yang “murtad”.[22] Pada level internasional syariat mengesahkan penggunaan kekerasan dalam menyebarkan Islam dan tidak mengakui kedaulatan negara-negara non-muslim. Oleh karena itu untuk mengakomodasi dan memediasi keberatan tersebut diperlukan adanya reformasi hukum publik Islam yang sesuai dengan standar konstitusionalisme, hukum pidana, hukum internasional dan HAM modern. Menurut M. Mahmud Thaha diperlukan adanya “evolusi legislasi Islam” yang lebih mengutamakan ayat-ayat Makiyah dari pada Madaniyah. Ayat-ayat makiyah lebih menekankan martabat yang inhern pada seluruh umat manusia tanpa membedakan jenis kelamin, keyakinan keagmaan, ras dan lain-lain.
Ketiga, aliran yang menolak Islamisasi dan Sekulerisasi, mereka lebih memilih jalan tengah (moderat). Menurut mereka Islam di Indonesia mempunyai kekhasan tersendiri, sehingga sekulerisasi dan Islamisasi yang sejatinya adalah produk “impor” tidak cocok dengan identitas masyarakat Indonesia. Baik fundamentalisme maupun sekulerisme sama-sama melakukan ideologisasi dan indoktrinisasi.
Dalam studi kasus di masyarakat Pamekasan, yang kehidupan bergama mereka sedikit liberal. Mereka memandang bahwa jilbab lebih pantas dipakai oleh para gadis dan ibu-ibu muda. Sementara perempuan yang sudah tua dianggap kurang pantas, dan lebih pantas memakai kerudung biasa yang hanya menutupi rambutnya.[23] Bahkan para gadis pun biasanya hanya menggunakan jilbab pada saat  tempat-tempat tertentu saja seperti di sekolah, pengajian, kondangan dan lain-lain. Sementara kalau pergi ke sawah atau keladang, memakai jilbab justeru dianggap berlebihan. Hal tersebut merupakan sebuah gambaran pemaknaan syari’at Islam menurut bahasa budaya.



BAB III : PENUTUP
Analisis dan Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan dari pembahasan makalah mengenai tipologi masyarakat beragama ini, maka kami menganalisis dan menyimpulkan bahwa :
1.      Agama adalah seperangkat nilai dan norma yang mengatur cara berpikir dan bertindak bagi pemeluknya, serta mengatur bagaimana cara manusia berhubungan dengan Tuhan dan sesamanya.
2.      Tipologi masyarakat beragama merupakan pengelompokan masyarakat kedalam golongan-golongan tertentu berdasarkan kesamaan karakteristik sosial yang menandainya.
3.      Latar belakang kebudayaan asal dalam masyarakat berpengaruh terhadap cara masyarakat mengekspresikan agamanya.
4.      Perbedaan konsepsi keagamaan akan mengenai cara pandang akan pluralitas agama mengakibatkan terjadinya segmentasi dalam agama tersebut.
5.      Setiap tipologi masyarakat yang beragama mempunyai sikap yang berbeda dalam menyikapi “klaim kebenaran” (truth climb) yang diakui oleh setiap agama.
6.      Agama di satu sisi menjadi alat pemersatu sosial, tetapi disisi lain dapat menimbulkan konflik dengan agama yang lainnya. Hal tersebut berkaitan denga klaim kebenaran yang diakui oleh semua pihak.
7.      Konflik bernuansa keagamaan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat menimbulkan pemahaman dan sikap baru dalam perbedaan agama seperti pluralisme, elektivisme dan universalime.



[1] Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi, Terjemahan Aminudin Ram dan Tita Sobari, Jakarta: Erlangga, ______ , hlm. 304
[2] Beni Ahmad Saebani, Pengantar Antropologi. Bandung: Pustaka Setia. 2012, hlm. 239
[3] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rawali Pers, 2012, hlm. 22
[4] Loc.Cit
[5] Silfilia Hanani, Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama, Bandung: Humaniora, 2011, hlm. 36
[6] Lihat di : Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006, hlm. 17
[7] Paul B. Horton. Op.cit. hlm. 304
[8] Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat (suatu Pengantar Sosiologi Agama), Terjemahan Abdul Muis Naharong, Jakarta: Rajagrafindo Persada. 1996, hlm. 49 -50.
[9] Ibid, hlm. 53
[10] Ibid, hlm. 55
[11] Ibid. hlm. 60
[12] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Potret Agama dalam Dinamika Konflik), Bandung: Putaka Setia, 2011, hlm. 185
[13] Clifford Geertz. Abagan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Terjemahan Aswab Mahasin. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1989. Hlm. 529
[14] Lihat: Jacobus Ranjabar. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bandung: Ultimus. 2013, hlm. 143 - 150
[15] Soerjono Soekanto. Sosiologi SuatuPengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hlm. 168
[16] Silfia Hanani, op.cit, hlm. 3
[17] Cilfford Geertz, op.cit. hlm. 529
[18] Ibid. Hlm 13
[19] Lihat : Imam B. Jauhari, Teori Sosial (Proses Islamisasi dalam Sistem Ilmu Pengetahuan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012, hlm. 187 - 188
[20] Ibid, hlm. 194
[21] Lihat : Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (hukum Fiqih Lengkap). Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2013. Hlm. 431
[22] "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan aku adalah utusan Allah kecuali dengan salah satu dari tiga sebab; (1) orang tua yang berzina, (2) membunuh jiwa (qisas), dan (3) keluar dari Islam (murtad) yang memisahkan diri dari jama'ah (jama'ah muslimin)." (HR. Abu Daud : 3788)
[23] Ibid, hlm. 200