Monday 16 March 2015

Agama dalam Sudut Perspektif Sosiologi

Agama dalam Perspektif Sosiologi
Oleh : Trisna Nurdiaman




Secara etimologi, kata agama berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “a” yang berarti tidak dan “gama” yang berarti kacau. Jadi secara harfiah agama dapat diartikan sebagai “ketidakkacauan”. Menurut Johnstone[1]  agama adalah sistem keyakinan dan praktek sebagai sarana bagi sekelompok orang untuk menafsirkan dan menanggapi apa yang mereka rasakan sebagai pengada adikodrati (supranatural) dan kudus. Sementara itu Anthony F.C. Wallace mendefinisikan agama sebagai seperangkat upacara yang diberi rasionalisasi mitos, yang menggerakan kekuatan-kekuatan supernatural untuk mencapai dan menghindarkan perubahan kepada manusia dan alam.[2]
Agama merupakan sebuah sistem kepercayaan manusia terhadap kekuatan adikodrati yang tersusun secara sistematis dalam doktrin-doktrin dan dogma-dogma. Nilai dan norma yang terkandung di dalamnya sosialisasikan dan internalisasikan kepada seluruh anggotanya. Dengan demikian, penulis berpandangan bahwa agama merupakan seperangkan nilai dan norma yang mengatur cara berpikir dan bertindak bagi pemeluknya, serta mengatur bagaimana cara manusia berhubungan dengan Tuhan dan sesamanya.
Auguste Comte yang sering digadang-gadangkan sebagai “bapak sosiologi” memandang agama sebagai satu tahapan evolusi sosial yang menurutnya kemudian akan tergantikan oleh tahap metafisis dan tahap positif. Dalam pandangannya mengenai tiga tahap evolusi masyarakat berdasarkan alam pikirannya, Comte menjelaskan bahwa tahap teologis ini terbagi kedalam tiga fase, yaitu fetichisme, politeisme dan monoteisme. Fetichisme merupakan satu fase dimana  masayarakat mencari kekuatan alam serta benda-benda angkasa yang ia anggap memiliki kekuatan segala-galanya.[3] Selanjutnya pada tahap politeisme manusia mencari penjelasan mengenai makhluk-mahkluk tidak nampak (supra natural) dan mempunyai beberapa tuhan. Fase terkahir adalah monoteisme, dimana masyarakat menemukan penjelasan bagi segala sesuatu pada Tuhan yang satu. Fase ini dianggap mengisyaratkan surutnya stadium teologis dalam masarakat.
Emile Durkheim[4] dalam bukunya The Elementary Forms of Religious Life (1912) menyimpulkan hasil studinya terhadap masyarakat primitif di Australia bahwa tujuan utama agama pada masyarakat tersebut adalah untuk mengembangkan rasa paguyuban (sense of community) melalui ritual-ritual keagamaan. Artinya fungsi agama dalam hal ini bukan hanya sebagai sarana manusia berkontak dengan tuhannya, melainkan untuk berkontak dengan sesamanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Durkheim memandang agama sebagai kekuatan pemersatu dalam masyarakat.
Karl Marx memandang agama sebagai candu rakyat. Marx melihat agama sebagai kesadaran palsu bagi masyarakat yang mengiming-imingi merekan dengan cita-cita yang tidak mungkin tercapai seperti ‘kebahagiaan di surga’. Dalam pandangan Marx, agama sebagai ideologi berfungsi sebagai seperangkat sanksi moral, khayal, penghibur atas kondisi ketidakadilan, penyelubung kenyataan dan pembenar ketidaksetaraan.[5] Agama melegitimasi adanya ketidaksetaraan, eksploitasi kelas dan membelokan perjuangan kelas. Jadi secara eksplisit Marx memandang bahwa arah agama ditentukan oleh kekuatan ekonomi.
Berbeda halnya dengan Marx, Max Weber dalam bukunya The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism memandang agama sebagai penentu kekuatan ekonomi. Menurutnya bukan kekuatan ekonomi, tetapi justeru agamalah yang menentukan kekuatan ekonomi. Weber melihat kesuksesan yang diraih oleh kalangan umat protestan pada saat itu didorong oleh nilai-nilai agama protestan yang berorientasi pada jiwa kewirausahaan, kerja keras, hemat dan mempunyai etos kerja yang tinggi. Dalam agama protestan dikenal konsep predistinasi yang berpandangan bahwa tanda-tanda seseorang akan masuk surga sudah terlihat di dunia melalui keberkahan yang diberikan oleh Tuhan seperti kekayaan dan kesuksesan. Ajaran tersebut mendorong mereka untuk selalu berusaha mendapatkan kesuksesan dan keberkahan Tuhan melaui kerja keras dan etos kerja yang tinggi.





[1] Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi, Terjemahan Aminudin Ram dan Tita Sobari, Jakarta: Erlangga, ______ , hlm. 304
[2] Beni Ahmad Saebani, Pengantar Antropologi. Bandung: Pustaka Setia. 2012, hlm. 239
[3] Imam B Jauhari, Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012, hlm. 106
[4] Paul B. Horton & Chester L. Hunt, Sosiologi. Terjemahan Aminudin Ram dan Tita Sobari, Jakarta: Erlangga, ______ , hlm. 306
[5] Dede Mulyanto, Antropologi Marx, Bandung: Ultimus. 2011, hlm. 149

0 comments:

Post a Comment